Lihat ke Halaman Asli

Alifia Sekarningrum

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Pernikahan Beda Agama di Indonesia: Agama atau Kemanusiaan

Diperbarui: 6 April 2022   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Viral. Sumber ilustrasi: PIXABAY/ktphotography

Bulan Maret lalu, media sosial Twitter dihebohkan dengan adanya berita mengenai pernikahan yang dilakukan oleh salah satu staf khusus Presiden Joko Widodo, yakni Ayu Kartika Dewi dengan pasangannya, Gerald Sebastian. Pernikahan ini mengundang perhatian publik lantaran diketahui keduanya tidak seagama. Ayu yang beragama Islam menikah dengan Gerald yang beragama Katolik. Pernikahan ini dilangsungkan di Gereja Katedral Jakarta untuk melaksanakan akad nikah dan pemberkatan. Proses pernikahan disiarkan secara langsung melalui akun Youtube Ayu Kartika Dewi.

Melihat hal ini, banyak warganet yang mengomentari pernikahan Ayu tersebut. Ada yang mendukung, ada yang bersikap netral, dan ada juga yang dengan keras menolak. Namun, saya melihat ada banyak sekali warganet yang tidak mampu berkomentar dengan santun dan melewati batas dengan alasan mengingatkan sesama muslim. Mereka menghina Ayu dan Gerald, juga mengatakan hal-hal yang tidak pantas diterima oleh siapapun di dunia ini. Komentar-komentar tersebut memang tidak ditujukan ke saya. Namun ketika membacanya, saya ikut merasa sakit hati. Apakah salah jika kita memilih untuk menghabiskan sisa hidup bersama orang yang disayangi, sekalipun kita berbeda agama?

Berangkat dari pertanyaan tersebut, saya mencari tahu bagaimana hukum pernikahan beda agama di Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya, dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, salah satunya dengan seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Namun, ini tidak berarti pasangan beda agama tidak bisa menikah di Indonesia. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986, pasangan beda agama dapat meminta penetapan pengadilan. Peraturan tersebut menyatakan kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama. Hal ini dikarenakan, tugas kantor catatan sipil adalah mencatat dan bukan mengesahkan. (Tempo/12 Maret 2022)

Dari hukum yang berlaku di atas, saya menyimpulkan bahwa pernikahan beda agama hanya bisa dicatat secara sipil, namun tidak berarti sah, terutama secara agama. Hal ini dikarenakan menurut UU Perkawinan, pernikahan harus dilakukan dengan tunduk pada hukum agama masing-masing. Menurut Islam sendiri, menikah beda agama tidak diperbolehkan sesuai dengan QS. Al-Baqarah ayat 221.

Sejatinya, pernikahan beda agama dilarang agar tidak terjadi pertentangan antar pasangan. Hal ini karena pernikahan bersifat kekal. Indonesia menganut ideologi Pancasila dimana sila pertama berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini membuat masyarakat Indonesia harus memakai agama sebagai pedoman yang mengatur hidupnya, sehingga tidak hanya patuh pada hukum negara yang berlaku, tetapi juga hukum agama yang dianutnya.

Namun, pernikahan seagama tidak melulu berakhir bahagia. Ini tidak sesuai dengan definisi perkawinan menurut UU Perkawinan. Kita melihat banyak kasus pernikahan yang berakhir dengan perceraian, atau selalu dibayangi dengan KDRT, perselingkuhan, pengabaian, dan hal-hal lainnya. Agama tentu juga mengatur hal-hal ini, tentang bagaimana harus memperlakukan suami, memperlakukan istri, mengasuh anak, aturan waris, dan lain sebagainya. Namun mengapa hal-hal tersebut masih terjadi apabila masyarakat kita menggunakan agama sebagai pedoman hidupnya?

Saya yakin, agama ada untuk mengatur manusia menjadi pribadi yang baik, khususnya kepada sesama manusia. Agama tidak lain dan tidak bukan adalah pedoman yang mengatur nilai-nilai kemanusiaan, dan bagaimana hal itu diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Sayangnya, banyak orang yang mengaku beragama, mengaku orang suci, namun tidak mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertulis dalam kitab suci. Tentu tidak ada agama yang mengajarkan manusia untuk main hakim sendiri, menghina orang lain, dan menyakiti hati orang lain dengan sengaja.

Ini membawa saya pada sebuah kesimpulan, sejatinya manusia adalah makhluk yang membuat pilihan atas hidupnya sendiri. Agama dan hukum negara hanya menjadi pajangan semata apabila manusia tidak pernah mengimplementasikan nilai-nilai yang diatur didalamnya. Maka, biarlah apa yang menjadi keputusan seseorang atas hidupnya menjadi tanggungjawabnya sendiri. Kita tidak berhak menghakimi orang lain atas pilihan hidupnya, apalagi apabila pilihan tersebut sudah dipertimbangkan matang-matang, seperti pernikahan beda agama Ayu-Gerald ini. Tidak perlu mengatakan hal-hal buruk hanya untuk membenarkan opini kita sendiri.

Saya jadi teringat salah satu kalimat dari film Ave Maryam. Saat itu suster Maryam melakukan sebuah dosa dan mengaku dengan suster lainnya. Ia merasa tidak ada tempat baginya di dunia ini karena sudah terlalu malu. Namun suster yang lebih tua berkata kepadanya, “Jika surga belum pasti untuk saya, buat apa saya mengurusi nerakamu?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline