Perang dagang antara Amerika dan Cina kini telah memulai babak baru tertanggal per 1 september 2019 di mana Donald Trump resmi menaikkan tarif untuk pertama kalinya sebesar 15% untuk barang-barang impor dari Cina. Negara tirai bambu tersebut pun langsung melakukan retaliasi dengan memberlakukan tarif tambahan senilai 5% dan 10% untuk barang-barang tertentu dari Amerika (Fajrian, 2019).
Serangan kedua ini merupakan bentuk keberlanjutan aksi Trump yang dimulai resmi pada bulan Juli, 2018 setelah Ia mengeluarkan pernyataan bahwa Cina melanggar aturan main dalam WTO. Tampaknya, aksi saling menaikkan tarif ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat meskipun beberapa upaya negosiasi telah diinisiasi oleh kedua belah pihak. Ketidakefektifan negosiasi ini membuat penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai solusi seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh Amerika dan Cina. Masalah ini penting untuk dicermati lebih dalam sebab hingga tulisan ini dibuat perang dagang di antara dua negara raksasa tersebut tak kunjung selesai, sementara kerugian ekonomi global yang ditimbulkan semakin membesar.
Perang dagang menurut Bekkers et al. (n.d.) adalah bentuk gangguan pada kerja sama hubungan dagang antara negara-negara atau koalisi-koalisi dalam beberapa negara yang ditandai dengan adanya proteksi pada produk tertentu. Melalui pengertian tersebut, selanjutnya penulis menggunakan landasan koseptual ekonomi perdamaian guna mendukung analisis terhadap argumen. Ekonomi perdamaian (Gilpin, 2017) adalah suatu studi investasi strategis yang dilakukan oleh negara untuk mempromosikan perdamaian positif. Menurut Caruso (2017) ekonomi perdamaian dapat diwujudkan apabila 3 pilar berikut---yang saling terkait satu sama lain---dapat dipenuhi oleh aktor-aktor yang terlibat.
Pilar pertama adalah sistem pertukaran atau sistem interaksi pertukaran barang dan jasa yang menjadi sumber utama dari kegiatan perekonomian. Dengan terjaganya pilar ini, kesejahteraan akan terus berlangsung sehingga ekonomi perdamaian dapat tercapai. Pilar kedua adalah sistem ancaman yang didefinisikan dengan adanya interaksi antar agen rasional yang dapat memunculkan ancaman yang kredibel---mengandung makna kontras dari pilar pertama. Terakhir adalah sistem integratif yang memiliki arti pertukaran secara unilateral di antara agen-agen rasional. Maksudnya agen yang memberi kebermanfaatan terhadap kegiatan ekonomi tidak secara langsung mendapatkan keuntungan tetapi akan didapatkan di masa depan selama Ia masih berkomitmen.
Konsep ini bisa dilihat dari bentuk hubungan negara dengan organisasi internasional di mana negara tersebut tidak akan mendapatkan keuntungan langsung ketika Ia baru mulai bergabung ke dalam suatu organisasi. Implikasinya, apabila komitmen negara terhadap sistem integratif ini terus dipelihara, perekenomian yang berbasis pada perdamaian akan dapat tercapai sebab tatanan menjadi stabil. Hubungan antara ketiga pilar tersebut dengan ekonomi perdamaian dapat dilihat dari model berikut ini.
Melalui model tersebut, Caruso (2017) menyatakan bahwa "Peace is the scenario in which exchange and integrative systems dominate threat relationships between countries.".
Lebih lanjut lagi, apabila sistem ancaman meningkat maka akan mempengaruhi kemungkinan negara untuk menambah sumber dayanya guna menangkal ancaman tersebut---dalam bentuk investasi pada pemenuhan senjata atau kebutuhan militer lainnya. Apabila dikaitkan dengan kasus perang dagang, maka penulis percaya dibutuhkannya upaya-upaya untuk mewujudkan ekonomi perdamaian di antara Amerika dan Cina yaitu melalui peningkatan sistem pertukaran dan integratif serta menurunkan intensi untuk memberi ancaman satu sama lain agar probabilitas tereskalasinya masalah ini menjadi perang terbuka menjadi semakin kecil.
Teori ini dirasa cocok untuk menganalisis kasus perang dagang sebab penulis percaya bahwa satu-satunya jalan dalam menyelesaikan suatu konflik adalah dengan berusaha seaktif mungkin menciptakan upaya-upaya perdamaian. Argumen pertama dari artikel ini akan membahas mengenai aksi yang harus dilakukan dengan melibatkan dua aktor secara langsung sementara argumen kedua lebih mengarah pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh masing-masing individu.
Pertama, Amerika dan Cina harus menyelenggarakan perundingan bilateral dengan memperhatikan etika yang baik. Kedua aktor harus benar-benar memperlihatkan itikad baik dalam setiap proses negosiasi. Hal ini penting dicermati sebab selama ini penyebab utama dari gagalnya negosiasi adalah tidak adanya niat baik yang ditunjukkan oleh Negeri Paman Sam dalam menghargai lawannya. Bisa dilihat dari negosiasi pada bulan April atau Mei tahun 2019 yang tidak mencapai kata mufakat sebab Amerika bukannya melakukan pendekatan secara halus, justru meminta Cina untuk membahas hukum mengenai pencurian kekayaan intelektual dan manipulasi mata uang yang diklaim Amerika telah dilakukan oleh lawan negosiasinya tersebut---padahal belum ada bukti valid (Tan, 2019). Tuduhan yang tak berdasar tersebut menujukkan ketiadaan respek dari Trump.
Itikad baik ini juga tidak bisa diungkapkan saat negosiasi sedang berlangsung saja, tetapi harus dihabitualisasi terus menerus ke dalam segala aspek yang menyangkut hubungan kedua negara. Masalahnya adalah selama ini pihak administrator Trump selalu menunjukkan sikap konfrontasi seperti menggunakan gaya yang arogan baik di ranah publik maupun privat dalam menyampaikan statement mengenai kedaulatan negara lain (Jiming & Posen, 2018). Meskipun Amerika merasa berada di posisi atas terhadap relasi kuasa dengan Cina, seharusnya Ia lebih bisa menjaga sikap agar Cina tidak bereaksi keras pula.