Lihat ke Halaman Asli

Seberapa Peduli Kita pada Isu Global Warming?

Diperbarui: 4 April 2017   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14272429721810633459

[caption id="attachment_405158" align="aligncenter" width="389" caption="bad.eserver.org"][/caption]

Modernisasi dalam teknologi, kebutuhan, gaya hidup, dan budaya telah banyak merubah kita menjadi manusia modern yang ber-mindset praktis. Yang paling terlihat akhir-akhir ini adalah ketergantungan tinggi manusia pada teknologi. Teknologi seperti sudah menjadi “pakaian baru” manusia modern, yang ada selalu dimanapun dan kapanpun kita berada. Teknologi yang seperti apa? Teknologi untuk komunikasi, untuk transportasi, untuk menunjang kenyamanan, untuk membangun bangunan, dan ribuan jenis teknologi lainnya. Hidup kita jadi praktis karena teknologi, atau teknologi yang ada muncul karena lahirnya mindset praktis dari kita?

Di sisi lain, alam atau lingkungan sebagai wadah teknologi berada, semakin kritis kondisinya. Yang paling hangat dibicarakan di satu dekade terakhir ini adalah isu pemanasan global atau global warming. Begitu banyak kajian, artikel, jurnal, berita tentang lingkungan atau energi berbagai produk yang terkait dengan isu global warming. Saking banyaknya jangan-jangan bisa bikin kita bosan. Dimana-mana global warming, bangun tidur sampai mau tidur lagi global warming, mau naik motor, mau bakar sampah, hingga mau ngeprint tugas ada yang membisiki “global warming lho”. Kenapa sih? Ya memang ini masalahnya, global warming nyata-nyata menjadi masalah, bahkan malapetaka bila kita belum sadar juga menanggapinya. Celakanya, teknologi-teknologi yang diciptakan manusia menjadi penyebab utamaglobal warming ini. Seringkali tidak terasa, kita hanya sebentar menyalakan AC, sebentar naik motor, sebentar menyalakan lampu. Lalu, bagaimana kalau kita sedunia? (sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit, .....tidak perlu diteruskan).

Isu global warming memunculkan juga istilah “green” yang pasti juga sering kita dengar akhir-akhir ini. Istilah “green” berkaitan dengan solusi atau design yang ramah lingkungan, atau sesedikit mungkin memberi dampak negatif ke lingkungan, sehingga diharapkan mampu berkontribusi menahan laju global warming. Memang benar, tapi banyak disalahpahami. Bagaimana sebenarnya representasi “green” yang sebenarnya? Sekarang ini seolah-olah segala sesuatu yang berlabel “green” menjadi laku di tengah masyarakat. Berapa banyak bangunan dengan label “green......” tapi merusak lingkungan sekitar? Berapa banyak taman dengan nama “green......” tapi tidak terawat? Produk furniture berlabel “green”, meubel berlabel “green”, kendaraan berlabel “green”, hingga produk makanan atau minuman dengan label “green”, pasti laku di masyarakat. Fenomena ini dapat memberi kita gambaran bagaimana masih murahnya istilah “green” di kehidupan kita, padahal bisa sangat mahal sebenarnya. Bukan mahal biayanya, tapi mahal nilainya, mahal pemahaman dan aplikasinya, untuk membangun “green” yang realistis untuk menahan laju global warming ini.

“Green” yang terwujud dalam green design memang menjadi solusi terdepan dalam menghadapi isu global warming, tapi itu adalah produknya saja. Produk yang sukses lahir dari produsen yang cerdas. Mindset kita lah yang sebenarnya menjadi kunci mengatasi permasalahan ini. Mindset atau pola pikir yang bagaimana? HEMAT ENERGI. Jawabannya memang singkat, tapi dapat dipahami secara luas. Jika kita memahami tentang energi saja, sangat banyak sumber energi yang ada di lingkungan alam sekitar kita, mulai dari energi matahari, air, udara, tanah, dan energi buatan manusia. Semua jenis energi ini dapat diubah menjadi teknologi oleh manusia, dan bila tidak dilandasi kesadaran hemat energi, teknologi menjadi boros bahkan merusak sumber daya alam yang ada. Ancaman global warming tidak lagi dipedulikan, yang ada hanya bagaimana agar teknologi itu menguntungkan dan menghasilkan uang untuk kita.

Mindset akan mempengaruhi perilaku, dan perilaku mempengaruhi perlakuan kita pada teknologi, apapun jenis teknologinya. Seorang pengembang misalnya dapat membangun berpuluh-puluh gedung pencakar langit dengan desain full-glazzed, tidak peduli seberapa banyak energi yang dikonsumsi gedung, atau lingkungan sekitar jadi panas, yang penting desain gedung menarik dan uang segera mengalir begitu gedung-gedung tersebut beroperasi. Lucunya, begitu banyak kaca jendela di gedung-gedung tersebut ditutup tirai karena penghuni didalamnya merasa panas atau silau. Setelah ditutup tirai, ruangan diterangi dengan lampu dan didinginkan dengan AC. Jadi jendela yang sudah sebegitu mahal dan banyaknya, mau dikemanakan? Jangan dibayangkan seberapa borosnya energi yang dikonsumsi, hanya untuk melayani manusia, yang sebenarnya bisa jauh lebih dihemat jika saja si pengembang tadi ber-mindset hemat energi, sehingga bisa menghasilkan desain gedung yang lebih bijaksana. Seorang bos yang hemat energi akan dapat mengerahkan tim atau anak buahnya, untuk membangun produk yang benar-benar sopan pada lingkungan. Sebaliknya bos yang serakah, ya sebaliknya. ”Hemat energi vs materialistis” banget bukan?

Seberapa peduli kita pada isu global warming, adalah seberapa besar perilaku dan sikap hemat energi kita dalam kehidupan sehari-hari. Atau bagaimana kita punya mimpi kedepan, apakah mimpi kita sudah “green” atau sebaliknya? Kita ingin rumah yang sederhana namun nyaman tanpa AC dan dengan pencahayaan alami, atau rumah megah dengan material mahal, dengan AC dimana-mana, dan penerangan yang extra-mewah? Jangan dikira boros listrik tidak ada hubungannya dengan global warming. Listrik bersumber dari PLTA yang tenaganya berasal dari batu bara, dimana pembakarannya menghasilkan berton-ton CO2 tiap tahunnya. Belum polusi dari kendaraan bermotor, asap pabrik, AC dengan gas freon-nya, betonisasi dimana-mana. Pernahkah kita merasa malu dengan kesederhanaan masyarakat desa, yang bisa survive hanya dengan teknologi secukupnya? Bahkan mereka punya rumah-rumah tradisional yang adem, sejuk, dan nyaman tanpa AC atau penerangan yang berlebihan.

Sebagai manusia modern kita memiliki konsekuensi agar melek teknologi. Melek seluas-luasnya agar tau seberapa luasnya perkembangan teknologi saat ini, dan bagaimana dampaknya jika kita tidak bijaksana atau tidak hemat dalam memanfaatkannya. Kita bisa memulainya dari hal-hal yang sederhana seperti bagaimana hemat memakai lampu penerangan, hemat berkendara, hemat menyalakan TV, hemat memanfaatkan gadget, dan kegiatan-kegiatan kecil lainnya. Penyakit kita biasanya adalah merasa melakukan hal kecil yang kira-kira­tidak berdampak besar pada lingkungan, karena hanya kita sendiri yang melakukan. Iyo po?

****

Salam GO GREEN ! ! ! !

Artikel terkait :

http://siklus.lmb.its.ac.id/?p=166

http://www.climatehotmap.org/global-warming-solutions/

http://environment.nationalgeographic.com/environment/global-warming/gw-effects/

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/235402/global-warming

https://reypadji.wordpress.com/tag/pemanasan-global/

http://silontong.com/2014/06/03/10-penyebab-dari-pemanasan-global-dan-pengertian-global-warming/

http://primaadiya.blogspot.com/p/global-warming.html

http://www.artikellingkunganhidup.com/12-langkah-sederhana-menghemat-energi.html

http://www.menlh.go.id/kiat-menghemat-energi-listrik-di-rumah-tangga/

https://lasonearth.wordpress.com/makalah/efek-rumah-kaca-green-house-effect/

http://azthynjcs.blogspot.com/2012/08/dampak-pembangungan-terhadap-lingkungan_5423.html

http://aldilah-bagas-d.blog.ugm.ac.id/2012/06/17/pencemaran-udara/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline