Peran Mekkah dan Madinah dalam Sejarah Kebangkitan Jaringan Ulama Global
Mekkah dan Madinah, yang sering disebut sebagai "dua haram," memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam Islam dan kehidupan umat Muslim. Kedua kota suci ini adalah tempat di mana wahyu Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad. Mekkah adalah arah kiblat bagi umat Islam saat melaksanakan shalat, serta tempat pelaksanaan ibadah haji. Karena signifikansi keagamaan yang begitu besar, tidak mengherankan jika banyak keutamaan (fadh'il) yang dikaitkan dengan Mekkah dan Madinah. Kombinasi antara fadh'il kedua kota ini dan ajaran Al-Qur'an serta Hadis Nabi SAW tentang pentingnya menuntut ilmu (thalab al-'ilm) semakin meningkatkan nilai pengetahuan yang diperoleh di sana. Secara singkat, ilmu yang didapat di Haramayn dianggap lebih tinggi nilainya dibandingkan ilmu yang diperoleh di pusat-pusat keilmuan lainnya. Bagi banyak Muslim, terutama di Nusantara, ulama yang menuntut ilmu di Haramayn sering kali lebih dihormati dibandingkan mereka yang memperoleh pendidikan di tempat lain. Mekkah dan Madinah menjadi tempat pertemuan terbesar bagi umat Muslim dari berbagai penjuru dunia. Kedua kota suci ini adalah pusat intelektual Dunia Muslim, tempat bertemunya ulama, sufi, filsuf, penyair, pengusaha, dan sejarawan Muslim yang saling bertukar informasi. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa ulama dan penuntut ilmu yang mengajar dan belajar di Mekkah dan Madinah umumnya memiliki pandangan keagamaan yang lebih kosmopolitan dibandingkan mereka yang berada di kota-kota Muslim lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Gellens, bagi para penuntut ilmu, pengalaman di Haramayn tidak hanya menguatkan ciri-ciri umum yang universal bagi seluruh umat Muslim, tetapi juga membentuk mereka dalam merumuskan pandangan terhadap masyarakat Muslim mereka sendiri maupun Dunia Islam secara lebih luas. Kebangkitan jaringan ulama termasuk ulama non-Timur Tengah di Mekkah dan Madinah tidak lepas dari perkembangan-perkembangan lainnya, baik di kedua kota suci maupun di Dunia Muslim secara keseluruhan. Dengan kata lain, kebangkitan jaringan ulama ini dipengaruhi oleh berbagai faktor penting yang tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik. Faktor-faktor ini berperan baik di tingkat masyarakat Muslim tertentu maupun di tingkat Dunia Muslim secara keseluruhan. Kita dapat melihat bagaimana kontak dan hubungan antara umat Muslim di Nusantara dan Timur Tengah mulai berkembang seiring dengan muncul dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara. Peningkatan perdagangan di Lautan India mendorong terjadinya interaksi yang lebih intens, tidak hanya antara para pedagang Muslim, tetapi juga antara penguasa dan pejabat-pejabat Muslim. Selain itu, meningkatnya kehadiran bangsa Eropa, khususnya Portugis, di kawasan Lautan India juga menjadi faktor penting yang mendorong terciptanya hubungan politik dan diplomatik yang lebih erat. Percepatan hubungan antara Nusantara dan Timur Tengah memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan jumlah jamaah haji Melayu-Indonesia di Haramayn, yang pada gilirannya mendorong keterlibatan mereka dalam jaringan ulama yang ada. Dengan memperhatikan hal tersebut, perlu diingat bahwa setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada abad ke-9, situasi politik di Hijaz, khususnya di Haramayn, mengalami kemunduran drastis. Pada awal abad ke-10, kelompok Syi'ah mulai memperoleh kekuasaan di hampir seluruh Timur Tengah: Dinasti Fatimiyah menguasai Mesir dan Afrika Utara, sementara Dinasti Buwaihiyah menguasai Irak, Iran, dan bahkan memengaruhi khalifah Sunni di Baghdad. Meskipun para penguasa Syi'ah jarang memaksakan pandangan keagamaan mereka kepada mayoritas Sunni, kejayaan politik Syi'ah tetap menjadi pukulan moral bagi kaum Sunni. Pengalaman Hijaz dalam menghadapi kekuatan Syi'ah berbeda dengan pengalaman Mesir. Berbeda dengan Syi'ah Fatimiyah yang relatif toleran di Mesir, Hijaz harus berhadapan dengan Syi'ah Qarmathiyah. Penyebaran kelompok Syi'ah ekstrem ini dari Bahrain ke Arabia Barat terbukti membawa malapetaka bagi Hijaz. Pada tahun 317 H (929 M), kaum Syi'ah Qarmathiyah yang dipimpin oleh Thahir al-Qarmathi menyerbu Mekkah, membunuh 30.000 jamaah haji dan penduduk setempat. Setelah menjarah Mekkah, mereka mencuri "batu hitam" (Hajar al-Aswad) dan membawanya ke al-Hijr, benteng mereka di Arabia Barat. Batu hitam ini baru dikembalikan 22 tahun kemudian, setelah Manshūr al-‘Alawi, pemimpin Qarmathiyah Afrika Utara, berhasil membujuk mereka untuk mengembalikannya ke Ka'bah.
Penjarahan yang dilakukan oleh kaum Qarmathiyah jelas menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi Haramayn. Sebagai contoh, kedatangan jamaah haji dari Irak terhenti total, dan jalur perjalanan haji dari wilayah-wilayah lain ke Mekkah juga sangat terganggu. Sejarawan al-Fāsi mencatat beberapa kasus khalifah haji yang terpaksa kembali ke negara asal mereka. Selama beberapa dekade setelah kekacauan yang dimulai oleh kaum Qarmathiyah, penduduk dan jamaah haji di Haramayn terlibat dalam pertarungan kekuasaan internal; mereka tidak dalam posisi untuk menanggulangi campur tangan dari pihak luar, yang menyebabkan kondisi di antara penduduk dan jamaah haji menjadi berantakan. Kekacauan politik di Hijaz memberikan dampak mendalam terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan pendidikan di Haramayn. Al-Sibā‘ī, misalnya, mencatat bahwa selama periode ketidakstabilan ini, pasar-pasar di Mekkah hampir semuanya tutup, dan banyak pedagang yang biasanya datang selama musim haji memilih pergi ke tempat lain. Fungsi Haramayn sebagai pusat pendidikan Islam juga mengalami penurunan. Kegiatan pendidikan semakin terbatas hanya di al-Masjid al-Haram di Mekkah dan al-Masjid al-Nabawi di Madinah. Lebih jauh lagi, jumlah penuntut ilmu menurun drastis, dan minat jamaah haji non-Hijazi untuk tinggal lebih lama di Haramayn setelah musim haji tampaknya semakin berkurang. Al-Sibā‘ī mengakui bahwa kegiatan keilmuan tetap berlangsung di kedua masjid suci selama masa-masa sulit ini, meskipun mereka yang terlibat dalam wacana intelektual keagamaan (religio-intellectual discourses) semakin terbatas.Namun, situasi mulai berubah menjelang abad ke-11 ketika kaum Sunni berhasil merebut kembali kontrol politik atas sebagian besar wilayah Timur. Penguasa-penguasa Sunni, seperti Ghaznawi (di Transoxania dan Afghanistan, 444-582 H/1052-1186 M), Saljuk (Anatolia, Suriah, dan Irak, 429-700 H/1037-1300 M), dan Ayyub (Mesir, Yaman, Suriah, dan Irak, 564-900 H/1169-1500 M), meskipun sering terlibat dalam konflik satu sama lain, namun berhasil menahan laju kekuasaan kaum Syi'ah. Di bawah naungan Khalifah Abbasiyah di Baghdad, mereka berusaha keras untuk mengembalikan kebijakan yang sesuai dengan ortodoksi Sunni. Akibatnya, para ulama Sunni yang sebelumnya mengembara selama masa-masa sulit terdorong untuk kembali ke tanah asal mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H