Komodifikasi yang dilakukan oleh beberapa oknum kapital saat ini telah mengalihfungsikan dunia pendidikan yang seharusnya bernilai guna menjadi nilai tukar. Nilai tukar diartikan sebagaimana kebijakan pendidikan di Indonesia saat ini menjadikan pendidikan yang seharusnya berfungsi untuk mencerdaskan generasi bangsa, mendidik seorang manusia, serta membimbingnya berubah menjadi tujuan lain semata-mata sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan sehingga menciptakan keuntungan lebih bagi pemilik modal atau kaum kapital.
Komodifikasi ini seharusnya sudah tidak asing lagi jika dikaitkan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang menaruh beberapa praktik kecil didalam kebijakan-kebijakannya, baik yang dilakukan oleh kebijakan pemerintah maupun oknum kecil dalam pendidikan di sekolah, contoh paling kecil dapat kita lihat dalam komersialisasi dalam kolektifitas membeli buku pelajaran, lalu juga "uang sogokan" yang sudah tidak asing dilakukan oleh beberapa oknum untuk dapat memiliki kemudahan untuk masuk ke dalam lembaga pendidikan yang diinginkan.
Adapun secara tidak langsung komersialisasi tersebut dipergunakan dalam kebijakan pemerintah secara politis maupun ekonomi yang biasanya diterapkan melalui pengadaan sarana prasarana yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh lembaga pendidikan. Sebab itu fenomena ini pada akhirnya menjadi produk internalisasi dalam pendidikan di Indonesia yang akhirnya meminculkan habitus dan perspektif masyarakat di dunia pendidikan yang didoktrin hanya sebagai media memperoleh ijazah, sertifikat, dan tidak berorientasi kepada sebuah tujuan pendidikan yang seharusnya.
Dalam fenomena yang terjadi ini akan dikaji berdasar pada pemikiran Pierre Bourdieu yang mengemukakan pendapatnya mengenai berbagai struktur dari adanya dominasi ekonomi yang bersifat simbolik di dalam masyarakat, sehingga menutupu keadilan yang seharusnya. Dalam fenomena yang dikaji tersebut menunjukkann adanya dominasi ekonomi dan politik yang membalut dunia pendidikan di Indonesia sehingga terkandung nilai kapitalis atau pemilik modal, dan munculnya produk internalisasi berupa habitus di Indonesia.
Dalam Rahayu Wilujeng:2017, Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek atau tindakan individu adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing individu. Menurut Bourdieu, masyarakat bersifat fleksibel dalam artian dapat menempati ranah apapun dalam sebuah dunia sosial, seperti usaha perjuangan memperebutkan sumber daya atau modal dengan tujuan mendapatkan posisi kekuasaan tertentu dalam sebuah arena. Pendidikan dan politik merupakan dua hal yang berkaitan erat, sebagaimana kedua hal tersebut saling memengaruhi dan keterkaitan langsung dalam setiap langkah yang dilaksanakan.
Secara gamblang dapat diketahui bahwa kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan tidak terlepas dengan kebijakan-kebijakan politik. Namun karena kecampuradukan kebijakan politik yang terkadang dilakukan oleh para petinggi sehingga tujuan dari pendidikan itu pun tidak jelas arahnya. Pada akhirnya, pendidikan dijadikan alat penguasa yang secara tidak langsung menindas kaum terbawah dengan menanamkan doktrin-doktrin yang akan ditanamkan berdasar pada kemauan para penguasa.
Dalam kondisi yang telah terjadi di Indonesia berdasar pada sejarah, ditunjukkan bahwa pada masa Orde Baru diberikan sebuah penanaman pelajaran mengenai pancasila (Pedoman Penghayata dan Pengamatan Pancasila, dalam oembelajaran ini nampak sekali terlihat materi yang diberikan semata-mata untuk mendontrin para murid secara tidak langsung berdasar dengan kemauan penguasa menggiring pemahaman mengenai pembungkaman mengenai kasus korupsi serta membiaskan pemahaman masyarakat atas pemikiran yang fungsional, dengan menaruhkan secara tidak langsung keharusan masyarakat untuk taat terhadap pemerintahan dengan segala kebijakannya dengan iming-iming mencintai negeri dan menghormati Pancasila. Karena itu menjadi anggapan masyarakat bahwa hal tersebut merupakan rezim dari Presiden Soeharto untuk menyampaikan larangan kepada masyarakat menentang ataupun sekedar mengkritik kinerja penguasa melalui berbagai media demi menutupi keburukan-keburukan serta kecurangan yang terjadi berdasar pada fakta yang terjadi dengan kondisi politik saat itu.
Motif kekuasaan yang digunakan oleh penguasa saat itu ialah mengendalikan sistem pendidikan demi membentuk kekuatan dan pencitraan untuk masyarakat untuk semata-mata memajukan partai politik yang dimiliki sehingga memiliki kekuasaan yang lebih dan lebih terhadap negeri ini. Menurut Muchlis Luddin, Depdiknas menjalankan program semaunya dan cenderung berorintasi proyek, dengan demikian oleh elit politik sejumlah program pendidikan dijadikan ajang kepentingan jangka pendek.
Jika membahas proyek maka sejatinya pendidikan pun tidak dapat dipisahkan dari unsur ekonomi. Saat ini banyak stigma bahwa pendidikan di Indonesia gratis, namun karena itu dimanfaatkan oleh para kaum penguasa sebagai kepentingan politik dibandig dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan demi kemajuan pendidikan di Indonesia itu sendiri. Sampai saat ini pun pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dengan beberapa negara lain, sehingga stigma pendidikan gratis di Indonesia adalah pendidikan murah yang kurang berkualitas.
Menurut Bourdieu dalam "The Logic of Practice:1990" terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan modal kultural kemudian ditambah modal simbolik oleh S Turner:
1) Modal ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain.
2) Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial.
3) Modal kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah. Misalnya ijazah, cara berbicara, cara bergaul, cara pembawaan diri (sopan santun).
4) Modal simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang, misalnya posisi atau jabatan seseorang sebagai kepala pemerintahan.
Dari penjelasan Bourdieu tersebut dapat dilihat bahwa hubungan sosial yang terjadi biasanya selalu ditandai dengan sebuah motif tertentu. Analisis dari penjelasan tersebut terhadap keadaan pendidikan di Indonesia ialah sistem pendidikan di Indonesia di gerakkan oleh aktor-aktor yang memiliki penguasa dan merupakan kaum kapital. Modal ekonomi yang dimiliki tiap individu memengaruhi sebuah kekuasaan sebagaimana individu tersebut akan dihargai atau dihormati. Hal tersebut juga menggambarkan keinginan manusia yang tidak pernah habis sehingga jika individu diberikan kekuasaan maka ia akan dengan segala caranya mempertahankan atau bahkan menaikkan derajat kekuasaan yang ia miliki, walaupun dengan menindas kaum yang pada dasarnya telah tertindas demi kepentingan ekonomi pribadi maupun kelompok. Dalam hal itu maka berkembanglah "pakta dominasi" dengan kepentingan dominasi yang sama antar pemerintah dengan pemerintah lainnya dalam memperebutkan dominasi dalam negara. Karena itu pula, negara berjalan dengan mengikuti jalan yang diinginkan kaum kapitalis semata tanpa memikirkan masyarakat lain.
DAFTAR PUSTAKA
Wilujeng, Rahayu. 2015. Dinamika Komodifikasi Pendidikan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan Indonesia: Refleksi Pemikiran Bourdieu. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta.
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press,California,