Lihat ke Halaman Asli

Alifia Syahrani

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

Lengser Ambu: Problematika dalam Pertunjukan Upacara Pernikahan Adat Sunda

Diperbarui: 26 Desember 2022   07:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adegan Ki Lengser dalam upacara pernikahan adat Sunda (Sumber: sukajadihotel.com)

Indonesia merupakan negara yang sangat heterogen, yang di dalamnya terdapat banyak sekali berbagai macam kebudayaan, seperti bahasa, sastra, seni, dan lain sebagainya. Di dalam jenis-jenis kebudayaan tersebut, banyak sekali nilai-nilai filosofis yang terkandung, baik itu secara tersurat maupun secara tersirat. Cara membacanya pun mempunyai metodologi tersendiri, yang di dalam kebudayaan Sunda disebut Pancacuriga (Panca: lima, Curiga: curiga; menelisik, rasa ingin mengetahui); Silib, Sindir, Sampir, Siloka, Sasmita. Idiom tersebut merupakan cara tersendiri dari masyarakat Sunda untuk membaca, mengkaji, dan menelaah nilai-nilai kesundaan, mengingat tidak semua nilai-nilai kesundaan bisa dikaji dan diteliti dengan menggunakan metodologi barat.

Seperti yang kita tahu, kebudayaan itu mempunyai beberapa unsur, sekurang-kurangnya ada tujuh unsur, yakni: religi, bahasa, ekonomi/mata pencaharian hidup, teknologi, organisasi sosial, pengetahuan dan kesenian. Dari semua unsur-unsur tersebut, tidak bisa ditinggalkan atau tertinggal di dalam pelaksanaannya. Mengingat, unsur-unsur tersebut saling memengaruhi. Contohnya adalah unsur seni atau kesenian, bila unsur tersebut tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan rasa "kurang" di dalam kehidupan manusia. Ada satu pepatah mengatakan; "hidup dengan agama menjadi terarah (unsur religi), hidup dengan ilmu menjadi mudah (unsur pengetahuan) dan hidup dengan seni menjadi indah (unsur kesenian/seni).

Bicara tentang seni, khususnya di daerah Jawa Barat (Sunda), terdapat berbagai jenis kesenian yang tersebar dan beragam jenisnya. Jenis-jenis kesenian tersebut dapat dikelompokkan menjadi seni tari, karawitan, teater dan gabungan antara ketiganya. Seni tari yang terkenal dan berasal dari Jawa Barat yakni tari tayub sumedangan, jaipongan, totopengan cirebon (panji, rumiyang, pamindo, tumenggung, klana), bajidoran, merak, kukupu, badaya, tari wayang gaya Iyus Rusliana, dan lain-lain. Seni karawitan pun beragam pula jenisnya, seperti: degung, tembang sunda cianjuran, kiliningan, gamelan wanda anyar gaya Mang Koko, celempungan, karinding, tarling, dan lain-lain. Sementara di dalam seni teater, ada gending karesmen, kabaret, sendratari ramayana, dan lain-lain. Bila ingin melihat gabungan antara ketiganya, bisa disaksikan dalam satu pertunjukan, yakni wayang golek.  Tak terkecuali upacara adat pernikahan atau di daerah Jawa Barat (Sunda) dikenal dengan "Karesemen Mapag Panganten."

Karesmen mapag panganten di dalam kebudayaan Sunda saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Berawal dari di "sakral" kan nya gamelan degung, harus adanya umbul-umbul, dan masih banyak lagi. Bila kita cermati pertunjukan karesemen mapag panganten di zaman sekarang, instrumen-intrumen tersebut sudah berganti dan lebih disederhanakan lagi dengan penggunaan alat musik/waditra kacapi, suling, kendang, perkusi, biola dan juru kawih. 

Di daerah-daerah Jawa Barat, penyajian dan pertunjukan karesmen mapag panganten ini sangat beragam pula jenis-jenisnya. Secara universal, penyajiannya sama. Namun, isi dalam penyajian tersebut ada beberapa yang berbeda, seperti rumpaka atau lirik pada syair, pola tabuh atau gending, dan lain sebagainya. Yang menjadi persolan adalah bergesernya makna, arti dan peran sosok "Lengser dan Ambu" dalam pertunjukan karesmen mapag panganten. Persolan tersebut telah menjadi problematika di masyarakat, khususnya di kalangan budayawan Sunda terlebih budayawan yang berkecimpung dalam seni pertunjukan.

Bicara tentang makna dan arti Lengser yang sebenarnya, dalam carita pantun Mundinglaya Di Kusumah disebutkan ".... Prabu Siliwangi nitah Ki Lengser sangkan nangan honje ka Nagara Kuta Pandek di Muara Beres. Ti Geger Malela, putrana Rangga Malela, Ki Lengser meunang honje dapalan siki nu ditukeur ku duit dalapan keton."

Dari sempalan atau carita pantun tersebut, bisa terbaca dengan jelas fungsi dan tugas dari sosok Lengser yang sebenarnya, yaitu seorang  "tangan kanan" raja; Prabu Siliwangi. Begitu luhungnya kedudukan Lengser pada jamannya. Budaya, secara hakiki mempunyai sifat dinamis; berkembang seiring dengan zaman, mengakibatkan pergeseran arti dan makna terhadap sosok Lengser yang sebenarnya sudah tersiratkan. Dalam pertunjukan karesmen mapag panganten, sosok Ki Lengser diadaptasi sebagai "tangan kanan" dari pengantin. Yang menjadi persoalan, hadirnya sosok Ambu dan pertunjukan tambahan dari prosesi inti karesmen mapag panganten.

Problematika muncul diakibatkan ada pertunjukan tambahan yang berupa adegan heureuy atau banyolan antara Lengser dan Ambu. Menurut saya, dalam adegan tersebut berkaca pada beberapa pertunjukan karesmen mapag panganten di beberapa kesempatan, mengurangi atau lebih buruknya menghilangkan nilai kesakralan dalam prosesi pernikahan. Padahal, prosesi pernikahan itu sangatlah sakral; momentum antara pria dan wanita berikrar dan saling berjanji satu sama lain untuk hidup bersama; suka maupun duka. Sosok Ambu, merupakan sosok tambahan yang tadinya untuk mendukung ramainya pertunjukan dari acara karesmen mapag panganten. Pada kenyataannya, seiring dengan berjalannya waktu tupoksi tersebut melenceng dari yang seharusnya dijalankan. 

Fenomena yang menggejala di lapangan, sosok Ambu itu digambarkan sebagai seorang nenek-nenek (kadang digambarkan sebagai seorang yang cantik) dan pemeran ambu tersebut ada beberapa yang diperankan oleh seorang pria. Ketika pertunjukan banyol antara Lengser dan Ambu, dalam beberapa kesempatan diperagakan adegan yang tak sepantasnya dilakukan, berkaitan dengan tatakrama dan etika masyarakat Sunda. Ada salah satu adengan, yang dimana Ambu menggoda pengantin pria dengan memeragakan adegan yang diluar nalar; membelai dan berjoget erotis dihadapan pengantin pria.

Problematika tersebut sudah dianggap lumrah oleh masyarakat Sunda pada umumnya. Terlebih, "permintan pasar" dari sebagian masyarakat yang terbiasa melihat pertunjukan Lengser dan Ambu seperti itu seakan-akan "melanggengkan" pertujukan yang demikian. Sering terdengar, bahwasannya kalau pertunjukan karesmen mapag panganten dilaksanakan dengan khidmat; tidak dipertunjukkan adegan yang dimana Lengser dan Ambu banyol (secara berlebihan), akan mendapatkan keluhan dan anggapan bahwasannya pertunjukan karesmen mapag panganten ini tidak meriah. Kurangnya literasi dan pengetahuan tentang budaya Sunda terkhusus dalam hal-hal yang berkaitan dengan pertunjukan karesmen mapag panganten ini seolah-olah membenarkan adegan tersebut, padahal yang semestinya adegan tersebut tak layak dipertunjukkan, berkaitan dengan etika dan tatakrama kepatutan dalam budaya Sunda.

Bercermin dari persoalan tersebut, kiranya pendidikan tentang budaya Sunda khususnya dalam hal karesmen mapag panganten perlu digalakkan. Bukan untuk menghilangkan sosok Ki Lengser dan Ambu dalam perjunjukannya, melainkan dengan merubah konsepsi serta pandangan terkait dengan sosok Lengser dan Ambu supaya tidak bertabrakan dengan etika dan tatakrama budaya Sunda, terlebih menurut saya pertunjukan karesmen mapag panganten ini harus memberikan nila-nilai yang mendidik kepada penonton; akademik maupun moril (pembentukan karakter).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline