Indonesia merupakan negara kedua dengan hutan terluas setelah Brazil, terdapat padang lamun dan hutan mangrove terluas di dunia dengan sumber energi yang potensial. Sayang, setiap tahunnya Indonesia selalu mengalami tragedi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang memakan jiwa. Selama 17 tahun karhutla telah menjadi tragedi yang terus meningkat dan semakin luas dampaknya.
Salah satunya tragedi yang terjadi pada tahun 2015, karhutla telah menghanguskan 2,6 juta hektar lahan sehingga negara mengalami kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai 2,21 triliun rupiah (BD 2015).
Menurut studi Purnomo et al. (2015) karhutla telah menyebabkan dampak sosial bagi 43 juta jiwa penduduk karena terkena kabut asap, 400 ribu jiwa mendapati sakit gangguan pernafasan dan 12 korban meninggal dunia. Bahkan, kabut asap yang tak sengaja melalui batas negara, juga menyebabkan adanya ketegangan politik dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, bahkan sampai terdengar oleh masyarakat internasional.
Tereksploitasinya hutan itu diakibatkan oleh suatu pemikiran yang menempatkan pembangunan ekonomi sebagai yang utama dibandingkan dengan kelestarian lingkungan hidup. Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang paling utama adalah dilegalisasikannya aktivitas ekonomi yang merusak hutan oleh kebijakan Pemerintah Indonesia. Selain itu, pemerintah daerah juga lemah dalam menjalankan komitmen perkebunan yang lestari.
Otonomi daerah pun menjadi salah satu topik penting dalam politik kehutanan Indonesia karena upaya konservasi hutan dapat lebih terancam karena pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang lebih besar dan praktik pemilihan kepala daerah yang cenderung koruptif. Berenschot (2015) mengemukakan bahwa politik kehutanan di Indonesia merupakan "the haze of democracy" sebab demokrasi pemilihan langsung merupakan ancaman bagi konservasi lingkungan hidup.
Menurut Povitkina (2018), demokrasi dianggap sebagai solusi dalam mengatasi isu perubahan iklim. Dalam penelitiannya, Povitkina menunjukkan bahwa seringkali politisi hanya memfokuskan kepada kepentingan jangka pendek dan tidak memperhatikan isu lingkungan hidup yang berdampak dalam jangka panjang.
Menurutnya, korupsi menjadi salah masalah utama yang perlu diatasi dalam menangani kasus isu perubahan iklim. Saya setuju dengan pendapat Povitkina karena pada akhirnya kepercayaan masyarakat terhadap negara dalam mengatasi masalah lingkungan hidup terutama dalam pengelolaan sumber daya kehutanan melemah dikarenakan korupsi. Korupsi telah mengambil alih institusi, simbol, dan implementasi politik lingkungan yang dimana hal tersebut mempengaruhi konstitusi.
Konstitusi sendiri menjadi suatu hal yang penting bagi politik lingkungan. Indonesia memang memiliki peraturan yang preventif dan komprehensif dalam mencegah dan menghilangkan perusakan hutan, namun tetap saja deforestasi terjadi sangat cepat di Indonesia.
Menurut penulis, Indonesia perlu menjadikan politik lingkungan yang berkeadilan dan berkelanjutan sebagai agenda utama pemerintahan terutama dalam mengatasi korupsi yang ikut mempengaruhi politik lingkungan. Salah satu cara Indonesia agar dapat melihat kasus korupsi pada politik lingkungan adalah melalui Teori GONE. Tidak hanya mengatasi politik kehutanan, tetapi juga dapat mengatasi politik energi dan politik maritim. Selain menggunakan teori tersebut, desentralisasi juga dapat menjadi solusi.
Menurut Rondinelli, Nellis, dan Cheema (1983) desentralisasi merupakan strategi pembangunan ekonomi yang lebih efektif dan efisien, dimana komunitas lokal bisa mendapatkan informasi yang lebih detail mengenai sumber daya alam di suatu daerah. Dalam sektor kehutanan dan pertambangan pun dapat memberikan kewenangan bagi bupati, walikota, dan gubernur untuk menentukan perusahaan tambang yang dapat memberikan manfaat lebih besar terhadap komunitas lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H