Lihat ke Halaman Asli

Kearifan Lokal Hutan Adat Imbo Putui

Diperbarui: 8 Desember 2022   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Hutan adat merupakan hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (UU N0. 41 tahun 1999). Pengelolaan hutan adat dilakukan oleh masyarakat dikawasan tersebut dengan tujuan bersama. Peraturan dalam hutan adat dilakukan dengan hukuman sosial yang sesuai kearifan lokal setiap masyarakat yang tinggal pada kawasan tersebut.        

Kawasan hutan adat ini merupakan kawasan hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman sumber daya yang beragam baik flora dan fauna. Keanekaragaman jenis satwa yang terdapat di kawasan hutan adat ini dapat dimanfaatkan sebagai obyek dalam kegiatan ekowisata satwa. Ekowisata satwa yaitu kegiatan ekowisata yang memanfaatkan satwa sebagai obyek utama. Ekowisata satwa memiliki manfaat untuk pelestarian satwa dan pemanfaatan satwa secara berkelanjutan. Konsep ekowisata satwa memiliki peluang yang cukup besar, hal ini dipengaruhi oleh permintaan kegiatan ekowisata alam yang meningkat dalam kalangan masyarakat luas.

Hutan Adat Imbo Putui dahulu dikenal dengan Hutan Larangan Imbo Putui, merupakan hutan adat yang terletak di Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar Provinsi Riau didirikan oleh Persukuan Kampai yang dipimpin oleh Datuok Siberani. Hutan Adat Imbo Putui dalam bahasa Indonesia berarti hutan terputus, ini disebabkan banyak ekosistem hutan yang terputus oleh beberapa aliran sungai di dalam hutan adat ini. Kawasan Hutan Adat Imbo Putui memiliki luas 250 Ha.

Dalam pengelolaan tidak ada pembagian tugas seperti ketua, wakil ketua, bendahara sekretaris, (struktur pengurus). Pengawasan dan pengelolaannya adalah masyarakat sekitar, serta yang paling berperan dalam adalah ninik mamak di desa tersebut.
Hukum Adat Masyarakat Petapahan dalam Pengelolaan Lingkungan sebagai Upaya Pemenuhan Hak Masyarakat Adat, menjelaskan bahwa pengelolaan lingkungan terdiri dari pengelolaan kawasan perairan dan kawasan darat.
a. Kawasan perairan atau sungai digunakan untuk kegiatan mencari hasil-hasil sungai, salah satunya manubo ikan dengan menggunakan alat-alat tradisional dan getah akar pohon karet yang berfungsi untuk membuat ikan menjadi pusing sehingga mudah untuk ditangkap.
b. Kawasan daratan adanya hutan adat yang dikenal dengan sebutan Utan Imbo Putuih, yang dikelola agar menjadi tetap alami hingga saat ini.

Khusus pengelolaan Hutan Adat Imbo Putui menurut Datuk Zulfahmi menjelaskan tentang hukum adat yang berbentuk "larangan" dalam pemanfaatan Hutan Adat Imbo Putui berupa :
1. Tidak boleh menebang pohon tanpa seijin dari kepala suku yang menguasai Hutan Adat Imbo Putui. Hutan adat merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat hukum adat, baik manfaat ekologi, sosial, budaya dan ekonomi secara seimbang dan dinamis. Oleh sebab itu hutan adat harus dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan untuk kehidupan masyarakat hukum adat saat ini dan masa yang akan datang.

2. Tidak boleh menjual kayu-kayu dari hutan adat secara komersial. Hakekatnya pemanfaatan hutan adat adalah untuk kepentingan hidup dan kehidupan bersama masyarakat hukum adat, penjualan kayu dari hutan adat secara komersial bertentangan dengan konsep komunal religius yang mengandung makna, bahwa tanah ulayat diyakini sebagai anugerah dari kekuatan gaib dan sebagai milik bersama.

3. Tidak boleh berburu fauna yang hidup di Hutan Adat Imbo Putui. Di dalam Hutan Adat Imbo Putui terdapat kehidupan fauna yang beraneka ragam jenisnya. Hewan-hewan langka yang sudah hidup ribuan tahun di dalam Hutan Adat Imbo Putui harus dilestarikan keberadaannya, pemanfaatan yang boleh dilakukan hanyalah untuk kegiatan penelitian bagi hewan-hewan langka yang terdapat di dalam Hutan Adat Imbo Putui.

4. Tidak boleh memanfaatkan hutan adat tanpa seijin dari kepala suku yang menguasai Hutan Adat Imbo Putui. Bagi masyarakat hukum ada yang ingin mengambil hasil hutan atau mengolah hutan harus duduok baguru togak batanyo kepada kepala suku yang menguasai ulayat tersebut, dengan tujuan agar masyarakat hukum adat tidak mengambil atau batimpiok (berdempet) hak yang dimiliki masyarakat yang lain yang lebih dahulu diberikan hak menguasai oleh kepala suku, dan bagi orang luaran yang ingin mengolah hutan atau memanfaatkan hutan harus duduok baguru togak batanyo untuk mendapat kata sepakat dari Persekutuan Adat, agar bisa ditetapkan sesuai musyawarah dan mufakat Adat diisi Limbago dituang.

5. Tidak boleh merusak hutan adat dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di dalam hutan adat. Masyarakat hukum adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola hutan adat, pemanfaatan hutan adat tidak boleh merusak hutan adat, seperti misalnya apabila mengambil tumbuhan untuk obat-obatan, maka harus dilakukan penanaman kembali.

6. Tidak boleh memasuki hutan adat tanpa seijin dari pengelola hutan adat. Larangan untuk memasuki hutan adat tanpa ijin bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan adat, di samping itu dalam wilayah hutan adat terdapat tempattempat yang boleh dikunjungi oleh manusia, dan terdapat tempat-tempat yang tidak boleh dimasuki oleh sembarangan orang, karena diyakini di dalam hutan adat terdapat pemukiman makhluk gaib, yang apabila dimasuki oleh manusia maka tidak akan menemukan jalan pulang.

7. Tidak boleh berkata kotor dan berbuat tidak baik di dalam hutan adat yang melanggar norma adat dan norma agama. Pemanfaatan hutan adat dilakukan berdasarkan hukum adat. Hukum adat yang berlaku adalah "Adat bersendikan Syara', Syara' Bersendikan Kitabullah". Artinya tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan agama yang menjadi sendi dasar dari norma adat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline