[caption caption="surabaya.tribunnews.com/2015/12/20/bersatu-itu-indonesia"][/caption]REMBULAN menggantung pada hitamnya langit. Menghiasi pemukiman kumuh dibalik gedung-gedung megah yang menjulang tinggi. Sinarnya sesekali menyentuh kulit wajah seorang anak kecil yang tertidur pulas beralaskan lipatan kardus. Dipeluknya kotak kayu yang mempunyai gagang di atasnya. Posisi tidurnya seperti bayi dalam kandungan. Lelap sekali. Bahkan sekelas serangga penghisap darah pun tak dapat membangunkannya. Terdengar gemercik air memukul atap yang melindunginya. Mengagetkan semua serangga yang mengganggunya. Seaakan Sang Pencipta tak mau jika ada yang akan membangunkannya.
PAGI datang memberi tanda. Menyapa gang-gang kumuh tempat para pencari rupiah. Terdengar suara kaki yang bergesekan dengan tanah becek sisa hujan semalam. Mereka mendatangi tempat penghasil uangnya. Terlihat mereka mulai membersihkan lapak-lapak dagangan yang berada di depan tokonya masing-masing.
"Nak.. Nak bangunlah. Sudah pagi" [tangan salah satu pedagang menggepuk paha anak yang tertidur tepat di depan tokonya]. Seperti hal yang sudah biasa jika ada yang meniduri tokonya.
"i..iyaa.. pak" [terdengar suara lirih]. Sambil mencoba membuka kelopak matanya, anak itu menekukkan tubuhnya kemudian berdiri. Seakan kakinya tak kuat menopang berat tubuhnya.
"maaf pak saya terdidur dsini semalam" sambungnya sembari melipat kardus yang menjadi kasurnya semalam.
Bapak pemilik toko terlihat sibuk bermain dengan barang-barang dagangannya.
"heemmmm" hanya suara itu yang terdengar dari mulutnya yang tertutup.
Mentari belum memberikan cahaya hangatnya. Anak itu melangkahkan kakinya beranjak dari toko itu. Bahu kecilnya di paksa menggendong sebuah tas yang berisi baju-baju pemberian dari orang-orang yang telah ditemuinya. Tangan kanannya menjinjing kotak kesayangannya dan lengan kirinya digunakan untuk menjepit lipatan kardus yang rela menjadi alas tidurnya. Tidur tak perlu kasur, katanya
Cahaya hangat akhirnya muncul di sudut timur. Menyentuh tanah becek pemukiman kumuh itu. Sebut saja pasar yang berada di balik ramainya kota Metropolitan.
**
Kakinya tak lagi menginjak tanah becek. Sampailah ia di pinggir jalan yang menjadi pembatas pasar dan kota. Ia terus berjalan menyisiri ramainya kota. Berharap sesuap nasi dapat di belinya untuk mengisi ruang kosong dalam perutnya.