Hari ini, saya pribadi menyatakan diri baru hidup 2 tahun. 2 tahun terakhir bersama kwikku.com untuk membangun sebuah digital startup adalah momen yang luar biasa. Bagaimana tidak, saya bersama tim dengan polosnya menunjukkan mimpi-mimpi gila kami. Hampir tidak ada yang mendukung, sangat banyak yang meremehkan.
Mengingat momen-momen masa lalu. Saya merasa bahwa hidup ini diperjalankan. Memang, siapa yang menanam pasti akan menuai. Tapi setiap kita menanam tidak ada kepastian kapan hasil itu akan terlihat. Seolah Tuhan berkata, "kamu menanam saja, urusan tanamannya tumbuh, berbunga hingga panen itu urusanku".
Saya terlahir sebagai anak desa berkadar 101% di era 90-an. Sosok yang menghabiskan masa kecil dengan gembala kambing, mencari rumput sepulang sekolah dan sesekali membantu jualan emak selama istirahat ini tidak pernah sekalipun tersirat dalam pikirannya untuk mampu kuliah. Bagaimana mungkin, anak seorang buruh tani mampu memikirkan hal-hal luar biasa berbau universitas itu. Bapak SD tidak lulus, emak hanya sebatas SMP.
"Ah sudahlah, bisa sekolah sampai SMK saja luar biasa." pikirku semenjak mengenal kata SMK. Kata SMK itu seolah kesempatan terbesarku untuk terserap menjadi tenaga kerja. Tidak ada yang mengajarkan bagaimana cara bermimpi. Tidak ada role model yang menunjukkan betapa luar biasanya menjadi seorang pemimpi. Tidak ada, benar-benar tidak ada.
Semenjak SD, kambing menemani bagaimana seorang Alif tumbuh. Kambing milik saudara yang dititipkan pada keluargaku untuk dirawat. Jika kalian pernah melihat anak gembala dengan kerbaunya sering eksis di buku mata pelajaran. Gambar itulah yang mengawali bagaimana mimpi ini mulai terajut. Anak yang sering digambarkan naik kerbau sambil bermain seruling itu terkadang duduk di bawah pohon rindang dan membaca buku.
Entah siapa nama anak kecil itu, tapi dia diperkenalkan Tuhan untuk menjadi inspirasi. Tapi tunggu, itu kerbau. Keluarga tak cukup kaya untuk mampu membeli kerbau. Seruling, alat musik apa pula itu? Bagaimana cara memainkannya? Sungguh pintar anak gembala di gambar itu, masih belia tapi sudah mampu bermain seruling. Dan selanjutnya adalah buku, ya buku. Sewaktu SD semua anak berseragam merah putih itu mendapatkan buku pinjaman setiap naik kelas. Buku-buku itulah yang bergantian menemani petualangan gembalaku.
Lambat laun rasanya tak lengkap jika hanya membaca buku-buku SD terbitan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu, tahunnya sangat jadul. Semua informasi terkini ada dipemberitaan televisi, radio dan koran. Televisi? Di rumah waktu itu tidak ada TV. Banyak tetangga sudah punya. Tapi sepertinya Tuhan belum berpikiran bahwa keluargaku perlu untuk memilikinya. Radio, kupikir kebanyakan diputar musik-musik melayu ala Malaysia. Berita-berita juga hanya selingan. Lalu pilihan jatuh pada koran, ya koran. Sesekali koran bertebangan di sekitar wahana penggembalaanku.
Lembaran koran sisa bungkus seringkali tergeletak tak berdaya di pinggir jalan. Yah, lembaran-lembaran itulah yang menghiasi pikiranku tentang Indonesia masa itu. Jika beruntung, aku akan mendapatkan lembaran koran sisa bungkus nasi yang diterbitkan di tahun yang sama. Jikapun jadulnya melebihi tahun ini, aku juga masih mendapat beragam informasi menarik tentang sejarah.
Yah, tidak ada teman di kisah-kisah SDku. Anak yang hari-harinya banyak dihabiskan di sawah ini tidak sempat untuk bermain bersama anak-anak lain. Alif yang dulu tidak seperti sosok Tsubasa yang banyak sekali teman. Alif adalah sosok manusia tingkat SD yang teramat pendiam dan tak banyak bicara. Di sela-sela ketika tidak ada guru di kelas, ia lebih memilih untuk iseng membaca atau mencoret-coret buku tulisnya dengan hiasan Dragon Ball Z yang berubah jadi Super Saiyan.
Dragon Ball adalah cerita tiap minggu yang kulihat di TV milik keluarga adik sepupuku. Untunglah rumahnya begitu dekat, jadi setiap minggu Alif kecil bisa menonton TV khusus anak SD. Tak banyak komunikasi yang ia buat, selain mempersiapkan salam dan do'a ketika guru datang karena didapuk jadi ketua kelas. Benar-benar tak begitu pintar untuk menjalin sebuah hubungan dengan teman sebaya, waktu bermainnya banyak dihabiskannya bermain sendiri.
Bagaimana mungkin bisa berteman, ketika anak SD lain menceritakan bagaimana kisah liburanya ke tempat rekreasi dengan keluarga. Mengunjungi kota dan tempat-tempat baru, saling melempar kisah masing-masing, makan ini makan itu. Alif hanya bisa menjadi pendengar cerita dan sesekali bertanya kepada mereka perihal sesuatu yang sama sekali tidak bisa ia bayangkan. Dia diam bukan karena tak bisa berkisah. Tapi pikirnya tidak ada kisah menarik yang mampu ia pamerkan. Liburan bersama keluarga, ya di sawah. Menuju ke tempat wisata, sekalipun belum pernah.