Lihat ke Halaman Asli

Alifa Sari

Mahasiswi

Mewarisi Politik Turun-Temurun, Kaesang Maju di Pilkada 2024?

Diperbarui: 1 Oktober 2024   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kaesang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang ingin mencalonkan diri dalam Pilkada 2024. Langkah ini sangat menarik perhatian publik karena ia masih tergolong muda dan menimbulkan debat tentang apakah usia 29 tahun cukup untuk memimpin. Di banyak negara, pengalaman dan kedewasaan sering dianggap penting dalam politik, dan banyak yang khawatir apakah Kaesang sudah siap untuk menghadapi tantangan kompleks di tingkat daerah.

Lantas apakah ini termasuk Hereditary politics atau politik turun temurun? Seperti yang terlihat dalam kasus Gibran Rakabuming pada pilpres 2024 yang lalu, memicu perdebatan tentang keadilan dan meritokrasi dalam politik Indonesia. Pencalonan Gibran menuai kontroversi karena usianya belum 40 tahun, sedangkan minimal usia capres-cawapres saat itu adalah 40 tahun. Di satu sisi, dukungan dari keluarga yang berpengaruh dapat memberikan akses dan sumber daya yang lebih besar. Namun, di sisi lain, hal ini bisa mengabaikan kemampuan individu yang tidak memiliki latar belakang politik yang sama.

Kritik terhadap politik turun temurun sering kali menyoroti potensi nepotisme dan kurangnya inovasi. Sementara pendukungnya mungkin berargumen bahwa kehadiran figur yang sudah dikenal dapat membawa stabilitas dan kesinambungan dalam pemerintahan. Dalam konteks Gibran, keberhasilannya tergantung pada kemampuannya untuk membuktikan diri sebagai pemimpin yang efektif, terlepas dari latar belakangnya. Hingga pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah resmi menetapkan pasangan 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang atau peraih jumlah suara terbanyak pada Pemilu Presiden 2024. Sesuai pada Pasal 4 tentang Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2024, bahwasanya penetapan pasangan presiden dan wakil presiden dapat dilakukan paling lama 3 hari setelah putusan sengketa pemilu dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam konteks yang lebih luas, langkah Kaesang mencerminkan dinamika politik Indonesia yang terus berkembang, di mana generasi muda mulai lebih terlibat dalam arena politik. Meskipun demikian, kehadirannya dalam Pilkada ini juga memunculkan pertanyaan tentang meritokrasi dalam politik. Apakah masyarakat akan melihatnya sebagai pemimpin yang memiliki visi dan kemampuan, atau sekadar sebagai anak presiden yang mengambil kesempatan?

Dengan berbagai tantangan dan isu yang ada, Kaesang perlu menunjukkan tidak hanya kemampuan politik, tetapi juga kepemimpinan yang kuat dan integritas untuk membangun dukungan publik yang solid. Kinerja dan respons terhadap isu-isu ini akan sangat mempengaruhi peluangnya dalam Pilkada mendatang.

Selain itu hal yang membuat publik panas karena banyak video Kaesang yang beredar di sosial media mengenai dirinya yang akan terjun ke dunia politik atau tidak, tapi dari semua jawaban yang dia keluarkan jawabannya tidak tapi dia tertarik pada politik pada akun YouTube Nihongo Mantappu yang diupload 19 Agustus 2022, saat dia di tanya oleh Jerome Polin. Kemudian ketika ditanya Irfan Hakim "Kok gamau jadi pejabat? Gamau ke pemerintahan?" Kaesang menjawab "Gajinya dikit" sambil tertawa pada akun YouTube deHakims Story yang di upload 15 April 2022. Dan pada akun YouTube Official NET News didalam video berdurasi 1 menit 44 detik terdapat Kaesang bilang "Emangnya masih zaman minta proyek sama orang tua yang di pemerintahan? Dasar ndeso!"

Hereditary Politics atau yang biasanya disebut politik turun-temurun, sering terjadi di Indonesia. Dapat dilihat pada masa Orde Baru, presiden kedua Republik Indonesia yaitu Soeharto telah mempraktekannya lebih nyata dengan melibatkan anaknya, yaitu Bambang Trihatmodjo & Siti Hardijanti Hastuti. Bambang Trihatmodjo ini mengisi posisi bendahara Golkar tahun 1993, sedangkan Siti Hardijanti ini dipersiapkan agar dapat mempertahankan dinasti politik Soeharto sendiri.

Kondisi politik Indonesia saat ini tak jauh beda dengan yang digambarkan oleh akademisi Harold Crouch pada tahun 1979. Harold Crouch menyebutkan, bahwa Indonesia sebenarnya telah menganut sistem yang disebut neo-patrimonialisme, sistem ini adalah sistem yang dilakukan untuk mencari keuntungan pribadi dan memudarkan mana ruang pribadi dan mana ruang publik dengan menggunakan kantor pemerintahan. Harold Crouch dalam analisanya tentang politik di Indonesia menekankan bahwa politik turun-temurun mencerminkan cara di mana kekuasaan dan posisi politik diwariskan di antara elite tertentu. Crouch mencatat beberapa aspek penting dari fenomena ini:

1.Patronase

Sistem patronase sangat kuat di Indonesia, di mana hubungan antara pemimpin dan pengikut seringkali bersifat personal dan berbasis pada dukungan timbal balik. Ini menciptakan jaringan yang memudahkan elite politik untuk mempertahankan kekuasaan.

2.Loyalitas Keluarga dan Jaringan Sosial

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline