Lihat ke Halaman Asli

Alifa Safira

Mahasiswa Aktif

Mengintip Ketidakramahan Ibukota terhadap Pejalan Kaki

Diperbarui: 10 Juni 2023   03:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Langit yang menggelap karena asap, ditemani suara klakson yang menyeruak kencang, dan amarah pejalan kaki ketika haknya diambil oleh pengendara motor, merupakan makanan sehari-hari kota Jakarta.

Gita (27) seorang karyawan swasta yang bekerja di daerah pusat Jakarta harus bertarung dengan para pengendara motor setiap harinya untuk bisa berjalan dengan nyaman di atas trotoar yang lebarnya tidak lebih dari 3 tapak. Melawan tebalnya asap polusi kendaraan dan bisingnya dentruman mesin selalu dihadapi Gita di pagi hari keberangkatan kerja dan sore hari saat pulang bekerja.

Sesuai ketentuan terkait trotoar diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Disebutkan bahwa trotoar merupakan hak pejalan kaki sehingga tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain. Namun pada kenyataannya penggunaan trotoar di Jakarta tidak hanya digunakan oleh pejalan kaki, namun juga pengendara motor dan Pedagang Kaki Lima.

Tidak hanya bertarung dengan pengendara motor dan pedagang kaki lima, terkadang para pejalan kaki juga masih harus bertarung dengan lubang dan lebar trotoar yang tibatiba menciut layaknya  baju yang dicuci ribuan kali.

“Sebenarnya jadi malas jalan kaki, tapi ya mau gimana, kalau naik krl mau tidak mau harus jalan dulu" ujar Gita saat ditemui sepulang kerja di trotoar yang biasa dilaluinya setiap hari.

Pilihan untuk membawa kendaraan pribadi mungkin ada bagi sebagian orang, tapi tidak bagj Gita. Transportasi termurah dan terefisien baginya yang bertempat tinggal di pinggiran kota Jakarta adalah KRL. Jadi meskipun berjalan kaki dari stasiun terdekat ke gedung kantornya sudah menyesakkan, tapi harus tetap Gita lakukan.

“Kadang suka buru-buru keluar sebelum jam 5 (petang) agar nggak main serobotan sama motor yang naik ke atas trotoar" keluh Gita saat ditanya mengenai pengalamannya sebagai pejalan kaki di daerah pusat Jakarta, lebih tepatnya daerah Cikini.

“Harusnya kalo daerah SCBD kesanaan aja bisa dibuat nyaman, kenapa di sini nggak" ucapnya.

Ketimpangan fasilitas publik khususnya trotoar bagi pejalan kaki seharusnya tidak terjadi. Jika satu daerah bisa merasakan kenikmatan fasilitas, sudah sepantasnya daerah lainnya juga bisa hal yang sama. Tidak banyak yang diharapkan Gita dan pejalan kaki lainnya. Hanya kenyamanan dan keamanan yang seharusnya bisa mereka dapatkan sebagaimana mestinya sebagai pengguna fasilitas umum tanpa harus berharap terlebih dahulu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline