Tahun 2021, bukanlah tahun yang mudah untuk saya lalui. Berbagai macam tragedi pun hadir untuk mengguncang perasaan keluarga kami. Tidak hanya pandemi covid-19 yang kian menghantui keluarga namun perasaan duka yang amat mendalam kami rasakan bersama yaitu berpulang nya Ibu tercinta ke penciptanya.
Saat itu ayah saya sedang menganggur karena sebelumnya fokus mengurus Ibu sampai akhir menutup mata. Pekerjaan saya belum stabil apalagi kisah cinta saya yang sedang berantakan.
Hingga setiap ada masalah saya selalu menyalahkan diri saya mengapa semasa Ibu hidup saya tidak memiliki banyak waktu dengannya, mengapa harus sekarang dan kalimat yang terus terlintas "Mengapa Ibu harus pergi sekarang, saya belum menikah tuhan. Saya belum jadi sarjana, saya belum punya anak" terus menyalahkan keadaan.
Akhirnya saya mencapai pada titik bertanya kepada diri saya "kapan saya bisa mengikhlaskan kepergian Ibu? Nampaknya setiap hari derai air mata ini terus mengalir karena hati terasa kosong tanpa adanya kasih sayang Ibu".
Dulu, saya tidak pernah berpikir bahwa membaca buku adalah solusi dari menutupi kesedihan saya. Hingga akhirnya saya tertarik untuk membaca buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring dan menerapkan ilmu stoikisme yakni ilmu tentang pengendalian diri dalam mengelola reaksi emosional terhadap peristiwa yang terjadi di luar kendali kita. Buku itu cukup menarik, sehingga saya berikan kepada teman yang sedang depresi di masa itu.
Namun, saya masih merasa kurang puas dengan buku tersebut dan pada tahun 2024 awal saya menemukan buku yang memiliki tema "duka" yakni buku yang berjudul Seorang Pria Yang Melalui Duka Dengan Mencuci Piring.
HAL YANG MEMPENGARUHI SAYA
Poin-poin yang disampaikan pada novel ini cukup berhubungan dengan saya salah satunya adalah "tidak ada waktu yang tepat untuk selesai berduka, setiap orang memiliki waktunya masing-masing dalam melalui duka bisa cukup dalam hitungan hari, bulan hingga tahunan".
Ketika membaca bagian ini, saya pun tak kuasa menahan air mata karena betapa beratnya melalui hari tanpa Ibu dan betapa orang-orang sekitar menganggap saya masih tenggelam dalam rasa rindu kepada Ibu hingga mereka bisa berkata "Jangan sedih terus, kasihan Ibu mu disana tidak tenang". Ketika suasana sedang bahagia memang tidak terpikirkan perasaan sedih tersebut, namun ketika suasana menjadi sedih saya pun tidak dapat mengontrol perasaan duka yang tiba-tiba hadir.
"Suatu saat pasti kamu akan menyesal" kurang lebih seperti itu kalimat yang tertulis pada novel ini. Penyesalan tidak akan hadir di awal, ia akan menghampiri pada waktu yang tepat yaitu di akhir. Setiap orang memiliki penyesalan saat berduka yang bisa berupa "Kalau saja dulu, saya memiliki banyak waktu dengan Ibu" atau "Andaikan dulu saya nurut saja dengan Ibu" dan menyalahkan keadaan seperti "Kenapa Ibu meninggal nya ketika kita belum bisa membanggakan beliau ya" dan penyesalan-penyesalan lainnya.