Lihat ke Halaman Asli

Alif PutraDharmawan

Universitas Sebelas Maret

Audit Syariah, Pentingkah Diterapkan?

Diperbarui: 13 Desember 2024   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Audit syariah merupakan proses pemeriksaan serta penilaian aktivitas, operasi, dan kepatuhan organisasi, terutama lembaga keuangan Islam terhadap prinsip-prinsip syariah. Tujuan dilakukan audit syariah ialah untuk memastikan semua kegiatan sesuai dengan hukum Islam yang ditentukan dalam Al-Qur'an, Hadis, dan fiqh.

Audit syariah membantu pengguna dan praktisi memahami transaksi berdasarkan hukum Islam. Ini merupakan tantangan di tengah-tengah keuangan kapitalis dan konvensional. Berkaitan dengan lembaga hisbah, yang bertugas menegakkan hukum Islam, dengan anggota yang berpengetahuan disebut mustahib. Auditor memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan Islam di lembaga keuangan.

Konsep ini didasarkan pada prinsip "Al 'Amr bil Ma'ruf wal Nahyu' an al Munkar". Manfaat audit syariah antara lain meningkatkan kepercayaan stakeholder, pengelolaan risiko syariah, transparansi, serta keberlanjutan bisnis. Audit ini dilakukan di bank syariah dan institusi berbasis syariah oleh auditor internal atau eksternal yang ahli di bidang syariah.

Indonesia dan Malaysia mengambil langkah-langkah untuk membuat kerangka kerja audit syariah di lembaga keuangan Islam. Audit syariah harus memastikan kepatuhan terhadap keuangan Islam dan mencapai tujuan syariah seperti keadilan sosial. Meskipun penting, studi dan pemantauan audit syariah masih rendah. Pertumbuhan pasar modal dan perbankan Islam membuat peran auditor syariah semakin signifikan di abad ke-21.

Contoh kasus mengenai audit syariah di Indonesia belum adanya standar yang pasti dalam penerapannya. Seperti mengenai perbedaan implementasi dan pelaporan kepatuhan syariah pada lembaga keuangan syariah (LKS), seperti perbankan, asuransi, dan pasar modal syariah. Kasus perbedaan standar audit syariah di perbankan dan asuransi syariah.

Kasus perbedaan terkait standar di perbankan syariah dan asuransi syariah. Dalam perbankan syariah diwajibkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mematuhi fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Namun, praktiknya dalam pelaksanaan audit syariah berbeda antar bank syariah. Misalnya, satu bank melakukan audit syariah secara internal oleh departemen kepatuhan syariah, sementara bank lain melibatkan pihak eksternal.  Berikutnya, tidak ada pedoman teknis yang spesifik untuk audit, seperti bagaimana mengevaluasi penerapan akad murabahah, ijarah, atau mudharabah.

Perbedaan berikutnya terkait asuransi syariah. Pada asuransi syariah, audit syariah lebih banyak difokuskan pada pengelolaan dana tabarru' dan pemisahan dana syariah dengan dana konvensional. Tetapi, secara praktik yang ada tidak ada standar nasional tentang bagaimana mengaudit pengelolaan dana peserta.  Berikutnya beberapa perusahaan asuransi syariah belum konsisten melibatkan auditor independen yang memahami prinsip syariah.

Semua terjadi karena Indonesia tidak memiliki standar tknis yang baku. Ketiadaan standar baku audit syariah menjadi lebih terlihat karena belum adanya regulasi khusus, interpretasi berbeda, dan minimnya auditor syariah yang berkopeten. Dalam ketidakadaya regulasi audit syariah di Indonesia masih bersifat umum, seperti pedoman yang diterbitkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions). Namun, penerapannya belum diwajibkan oleh OJK secara menyeluruh.  Berikutnya terkait interpretasi yang berbeda, Fatwa DSN-MUI yang menjadi acuan sering kali diinterpretasikan berbeda oleh masing-masing lembaga keuangan syariah. Hal ini menyebabkan audit syariah tidak dilakukan secara konsisten.  Terkait minimnya auditor syariah yang kompeten, Jumlah auditor yang memahami baik prinsip syariah maupun teknis akuntansi masih terbatas. Akibatnya, audit lebih banyak berfokus pada aspek keuangan, sedangkan kepatuhan syariah tidak dievaluasi secara mendalam. 

Dalam implikasi dari belum adanya standar baku, terdapat perbedaan hasil audit, potensi ketidakpercayaan publik, risiko pelanggaran syariah. Perbedaan hasil audit syariah antar lembaga sering kali tidak seragam, sehingga menyulitkan pembandingan tingkat kepatuhan syariah antar institusi. Potensi ketidakpercayaan publik, akibat ketidakkonsistenan audit syariah dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga keuangan syariah.  Risiko Pelanggaran Syariah tanpa standar yang jelas, ada potensi terjadinya pelanggaran syariah yang tidak terdeteksi, seperti penerapan akad yang tidak sesuai atau pengelolaan dana yang melanggar prinsip Islam. 

Rekomendasi solusi yang diberikan yang pertama adalah Pengembangan standar audit syariah nasional. Hal ini seperti OJK dan DSN-MUI perlu bekerja sama untuk merumuskan standar teknis audit syariah yang spesifik dan wajib diterapkan oleh seluruh LKS di Indonesia.  Kedua, peningkatan kompetensi auditor syariah dimana pelatihan khusus bagi auditor syariah harus diperluas, termasuk pemahaman tentang fatwa DSN-MUI, standar akuntansi syariah, dan teknik audit modern. Ketiga terkait digitalisasi audit syariah dalam memanfaatkan teknologi seperti blockchain atau sistem audit berbasis AI untuk memastikan transparansi dan efisiensi dalam pelaksanaan audit syariah. 

Simpulan yang dapat diberikan bahwa belum adanya standar yang pasti dalam audit syariah di Indonesia menunjukkan perlunya perhatian lebih dari regulator dan industri untuk menciptakan ekosistem yang lebih terstruktur. Dengan standar yang jelas, audit syariah dapat dilakukan secara konsisten, kredibel, dan mampu mendorong perkembangan industri keuangan syariah yang lebih transparan dan berkelanjutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline