Karya sastra klasik yang lahir dari tanah bugis, Sulawesi Selatan, merupakan karya sastra terpanjang di dunia, melebihi Mahabrata dari India dan karya Homeros dari Yunani. Pada tahun 2011 Badan Dunia Unesco telah menetapkan naskah klasik I La Galigo ini sebagai Warisan Dunia dan diberi anugerah Memory of The World.
Di samping sebagai karya sastra terpanjang, kitab I La Galigo ini juga mengandung nilai-nilai luhur yang sangat bermanfaat bagi pembinaan karakter bangsa, khususnya kalangan generasi milenial yang tengah menghadapi arus globalisasi yang dapat mengancam keberadaan budaya dan nilai luhur yang diturunkan oleh nenek moyang kita.
Karya klasik ini berasal dari tradisi lisan rakyat Bugis lalu akhirnya ditulisakan pada abad ke-19. I La Galigo atau nama lainnya Sureq Galigo merupakan Kitab Suci yang berisi puisi-puisi yang menceritakan asal muasal penciptaan dan peradaban Bugis, walaupun seperti mitos. Namun sebagian besar masyarakat bugis yang masih menganut agama lokal yaitu kepercayaan Tolotang menganggap bahwa I La Galigo ini sebagai kitab suci.
Karya satra ini memiliki sekitar 6.000 halaman dan 300 ribu baris teks dengan menggunakan penulisan aksara Lontara yaitu aksara asli Bugis, penyusunan puisi didalamnya dianggap sangat indah dan berkualitas. Menariknya, pembacaan Kitab I La Galigo Ini dilakukan sembari manyanyi, cara melagukannyabiasa disebut dengan laoang atau salleang, bisanya dilakukan pada saat upacara adat.
Namun sayangnya, dengan pudarnya pengetahuan lokal, serta semangat anak muda yang ingin mengetahui satra dan bahasa kuno atau aksara Lontara, dapat bersifat ancaman terhadap teks I La Galigo ini, atau mungkin proses pelestarian dulu baik lisan maupun tulisan harus cendrung dilakukan oleh orang-orang yang spesial saja. Dengan bermaksud mengantisipasi hilangnya naskah-naskah kuno ini, maka Indonesia bekerjasama dengan Belanda mengusulkan naskah kuno ini agar terdaftar sebagai warisan dunia dan ditetapkan oleh Unesco.
Kisah yang bersifat epis-timologis itu menceritakan riwayat manusia pertama di bumi (mula tau) dan menggunakan bahasa Bugis yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Menurut pendapat Raffles mengenai ciri khas puisi I La Galigo, bahwa ada seorang bernama Galiga adalah seorang pengarang karya I La Galigo tidak di tegaskan oleh sumber yang lain, dan Kern (1939:1) berpendapat bahwa itu tidak benar.
Walaupun John Crawfurd daalam bukunya History od the Indian archipelago (1820) yang membahas tentang bahasa dan sastra Bugis secara singkat, Kitab I La Galigo tidak di sebutnya, akan tetapi secara tidak langsung, pengarang seakan menunjuk kepada puisi Galigo. Orang bugis katanya memiliki bahasa yang kuno dan kurang di kenal. Bahasa itu serupa dengan bahasa Kawi dan Jawa.
Berikut sejarah alur cerita singkat dari puisi I La Galigo.
Tokoh utama La Galigo adalah Sawerigading yang memiliki saudara kembar yang bernama We Tenriabeng, yang di besarkan secara terpisah, meraka bertemu kembali pada saat menginjak usia dewasa. Sawerigading yang terpesona dan jatuh cinta kepada We Tenriabeng serta berniat untuk menikahinya.
Rahasia keluarga yang telah lama disimpan kini di bongkar, diceritakanlah bahwa Sawerigading dan We TenriAbeng adalah saudara kembar, sementara itu, perkawinan saudara sedarah diyakini akan mendatangkan bencana.
Akibat cinta yang tak tersampaikan ini, akhirnya Sawerigading merantau ke daratan China, di sana Sawerigading bertemu dengan putri yang sama persis dengan saudari kembarnya, yang bernama We Cudaiq. Lalu, setelah melewati bebagai kisah, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama 'La Galigo'.