Lihat ke Halaman Asli

Jempol Jari Kita

Diperbarui: 20 April 2017   12:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: nyutnyut.wordpress.com

Teman sebangku saat SMA kehilangan sebagian jempol tangannya. Peristiwanya, ketika dia mencuci motor. Malang tak dapat dintentang, jempol tangannya terpotong rantai motor yang mesinnya dihidupkan. Terpaksa dia harus “jajan” sebesar Rp 5 juta untuk mengobatinya.

Jempol tangan kanannya, kini tak memiliki kuku. Masih berutung tak terpangkas semuanya. Jika tidak, kegemarannya mendrawing atau melukis maka tamatlah sudah. Namun di jaman gadget ini, dia tak pernah membalas sms, me-WA  yang masuk ke hp-nya. Dia akan langsung menelepon orang tersebut. Termasuk pada istrinya. Pasti Anda sudah mafhum kan penyebabnya?

Lain halnya, seorang wartawan senior dari bagian fotografer. Kini saya membayangkan dia agak kesulitan pula untuk ber-sms ria. Bukan karena jempolnya hilang atau buntung. Namun karena ukurannnya jadi membesar.

Gara-garanya, saat teknologi fotografi belum secanggih sekarang, ketika selesai meliput dia harus buru-buru ke kamar gelap. Mencuci sendiri slide yang kala itu, masih hitam putih. Nah, karena malas menggunakan pinset – dengan alasan lupa menyimpan -- dia langsung menggunakan jemari tangannya untuk mencuci foto. Akibatnya sejumlah jemarinya ikut mengembang atau melar menjadi besar akibat dari bahan kimia untuk “mengembangkan” foto.

Kawan-kawan seprofesinya, sering mengolok-olok. Katanya, dia tak pernah mengacungkan jempolnya kalau memuji. Soalnya, orang sering salah paham, karena ketika mengacungkan jempolnya, maka terlihat seperti “meureupan” atau mengacungkan tinju.

Agaknya kini dari lima jemari yang kita miliki, jempol-lah sekarang yang paling aktif bekerja. Saya sering tertegun melihat kelincahan jempol anak-anak sekarang memijit tombol-tombol di hp ketika ber-sms atau ber_WA ria. Seakan jempolnya memiliki mata. Begitu lincah menari-nari ketika berkomunikasi lewat sms. Bahkan tanpa melihat sekalipun.

Ternyata jempol pula, yang kini banyak digunakan sebagai lambang. Terutama dalam face book (FB). Jika menyukai suatu kegiatan atau pemikitran dari seseorang, tinggal mengklik jempol. Artina “suka” atau “like”, kebalikannya jika tak suka maka lambang jempol itu mengarah ke atas. Coba hitung dalam sehari berapa kali men-jempol di FB

Jempol dijadikan lambang, rupanya sudah sejak jaman dulu. Jempol yang disebut “ibu jari” (tangan maupun kaki), memiliki posisi yang terhormat. Penyimbolan “jempol” sebagai pujian berlaku secara universal. Di dalam film-film jaman Romawi. Dalam adegan di arena Gladiator, jika sang Kaisar mengajungkan jempolnya berarti memujinya. Tapi sebaliknya, jika acungan jempolnya mengarah ke bawah, maka harus dibunuh.

Jika jempol dijadikan untuk mengucapkan pujian, maka akan sangat langka diacungkan bagi kehidupan bernegara saat ini. Pertikaian terjadi dimana-mana. Saling serang antar kelompok, golongan, partai politik, antar anggota legislatif. Terlebih saling hujat saat menjelang Pilkada. terutama Pilkada DKI Jakarta. Meski sudah usai masih tetap bertikai. Keadaan ini tak layak diancungi jempol.

Hanya di dunia maya kita saling memuji. Namun di dunia nyata, begitu pelit untuk saling memuji. Atau saling menghargai apa yang dilakukan oleh orang lain. Segala sesuatu yang dilakukan orang lain, sering kali dipandang salah. Seolah “euweuh pujieun”. Seolah tak patut dipuji. Seolah sudah sudah kehilangan jempol. Atau terlalu berat untuk mengacungkan jempol, hingga selalu mengarah ke bawah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline