Lihat ke Halaman Asli

Hati-hati Mengangkut Sapi karena Mereka Bukan Benda Mati

Diperbarui: 9 Maret 2017   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi

Belanja sapi ke pasar hewan, sungguh seru. Selain menempuh perjalanan Bandung ke Tuban cukup lama, juga harus berebut tawar dengan pembeli lain serta bakul atau penjaja sapi. Ini merupakan pengalaman kesekian kali, saya berburu sapi ke pasar Tuban.

Menjelang pagi, sekitar daerah Tuban, truk yang kami tumpangi melaju di jalan tak begitu lebar, dengan kiri-kanan jalan pohon asem, tegalan tebu, berganti sawah yang telah dipanen. Matahari jam setengah enam pagi, nampak merah di sela-sela jajaran pohon jati. Terlihat kabut tipis menyelimuti.

Bau air laut dan garam sudah lama lalu. Hamparan tambak-tambak garam di pesisir pantai Tuban hanya terlihat temaram. Pun kincir-kincir pengatur air ke kotak-kotak sawah nyaris tak terlihat. Saat pulang nanti, pemandangan itu selalu saya rindukan. Sementara di bagian belakang bak truk, Encep, kernet kami melanjutkan kembali tidurnya. Setelah tadi sempat istirahat minom kopi.

Tanda-tanda sudah dekat dengan tujuan sudah terasa. Beberapa truk sapi dan kendaraan mobil bak, nampak melaju ke arah yang sama. Leguhan-leguhan sapi mulai terdengar riuh. Pasar hewan Tuban terletak di Jl. HOS Cokroaminoto. Masuk ke sebuah jalan tak begitu lebar. Antara tempat parkir kendaraan truk-truk pengangkut sapi terpisah. Sejumlah truk kosong sudah terparkir di depan pasar. Sebagian lagi, ada truk-truk bermuatan sapi memasuki pelataran parkir. Luasnya pasar sekitar dua kali lapang sepak bola. Hari masih cukup pagi. Saya dan kang Sakim, kang Daman, sopir truk serta Encep berjalan ke sebuah warung. Letaknya tak jauh dari tempat parkir. Seperti biasa, kami sarapan dulu sebelum “berburu” membeli sapi.

Terlihat semakin banyak kendaraan masuk membawa sapi. Dan, tanpa diatur petugas pasar, rupanya para bakul  sudah hapal. Sapi-sapi di tempatkan berdasarkan jenisnya. Ada kelompok sapi kroya (sapi Jawa) ada juga yang menyebutkan sapi PO (peranakan ongol), sapi limusin, dan metal. Begitu pula berdasarkan besarnya atau bobot sapi, terlihat masing-masing dipisahkan. Sehingga pembeli dengan mudah memilih dan membeli sapi yang diinginkannya.

Ungkapan “politik dagang sapi”, mungkin dari pasar sapi inilah pameo itu diambil. Sebelum tawar menawar, sang pembeli menaksir-naksir dulu seekor sapi yang akan dibelinya. Diteliti dari ujung tanduk sampai ujung kaki. Sesekali di tepuk, dijembel sambil ditarik kulitnya. Disodok bagian pahanya. Atau ditarik ekornya.

Pami beli sapi, nu tipis kulit na(kalau mau beli sapi kulitnya yang tipis),” begitu saran Kang Sakim, dulu kali pertama membeli sapi. Ini pengetahuan perihal sapi darinya. Dia menyebutkan caranya: dengan menjembel kulit sapi akan diketahui, apakah sapi itu banyak lemaknya atau tidak.

Ternyata memilih sapi yang bagus, tak mudah. Ada sejumlah persayaratan lainnya. Seekor sapi bakal dipilih untuk dibeli tak cukup melihat sapi dianggap sehat, yaitu hidungnya terlihat basah, kukunya bersih, dan ekornya selalu bergerak. Tapi seekor sapi yang bagus, selain kaki sapi besar, kukunya kukuh menjejak tanah. Jangan “ceper” atau seperti orang memakai sepatu.

Syarat lainnya yang berbau mitos, yaitu jangan memilih sapi yang “ngabuta” (tak memiliki tanduk sama sekali), berbulu tiga atau loreng seperti macan, “iga burung” nampak bagian tulang iganya tak simetris, dan “sanglir” atau biji zakarnya hanya satu.

Sehabis sarapan, kami langsung memasuki pasar. Kecuali sopir, dia akan beristirahat. Suara lengguhan sapi semakin siang semakin riuh. Kebanyakan yang menawarkan sapi adalah para “bakul” (bukan pemiliknya atau pengasong) dalam bahasa Jawa. Teriakan: “Pitu seket”, “papat wolu”, “enam ewu”, atau “limo seket”. Bagi saya, meski pun telah cukup sering ke pasar sapi, segalanya tetap eksotis.

Kang Sakim yang Sunda totok, terkadang berebut tawar dengan menggunakan bahasa isyarat jari. Jika harga disepakati, maka sang bakul memberikan koin. Biasanya koin nominal 200 atau 500 rupiah. Ini sebagai tanda “deal”. Tapi terkadang sang bakul memaksa memberikan koin. Kang Sakim buru-buru mengembalikannya, karena hargannya kurang pas. Sedangkan sapi-sapi yang telah jadi kesepakatan harga, tugas Encep mengumpulkannya di suatu tempat. Selain itu, juga diberi tanda dengan cat. Biasanya di bagian paha atau kepalanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline