Lihat ke Halaman Asli

Masih Efektifkah Kampanye via Media Luar Ruang?

Diperbarui: 21 Februari 2017   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alat peraga kampanye umbul-umbul ketiga pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta dipasang di Jalan Saharjo, Setiabudi, Jakarta Selatan. Foto diambil Kamis (24/11/2016). (Kompas.com/Nursita Sari)

Apabila diibaratkan musim buah-buahan, misalnya musim buah rambutan, yang akan melimpah di mana-mana adalah buah tersebut. Nah, musim Pilkada serentak, maka yang terlihat melimpah di jalan-jalan yaitu penempelan berbagai atribut kampanye seperti baligo dan spanduk yang berisi gambar paslon.

Berbagai foto calon kepala daerah bermunculan menyatakan diri. Keadaan ini bukan hanya terjadi manakala seperti saat ini, yaitu telah dicalonkannya sejumlah paslon tersebut. Akan tetapi, jauh saat calon ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.

Foto-foto calon kepala daerah mulai menyatakan diri. Mereka meminta doa restu pada khalayak ramai. Semakin mendekati Pemilukada sebagai puncak musim panen demokrasi, maka pemasangan calon kandidat semakin marak. Celakanya, pemasangan foto paslon di ruang publik banyak yang menyalahi aturan. Padahal bagaimanapun, pemasangan baliho, spanduk, billboard atau gambar dalam bentuk bagaimanapun harus meminta izin pada dinas terkait, karena dikategorikan sebagai iklan.

Media luar ruang yang digunakan untuk melakukan kampanye, yaitu pemasangan baligo dan spanduk. Hal ini ditunjang dunia printing yang kian maju sehingga terjadilah perang spanduk atau perang baliho. Tidaklah heran di sepanjang jalan yang menjadi arena pemasangan media luar ini terkesan pabalatak (berceceran).

Sebenarnya, dengan kampanye melalui baligo, spanduk, atau atribut kampanye lainnya, masyarakat akan kurang mengenal siapa paslon yang berlaga, berbeda jika turun langsung berdialog dengan mereka, menanyakan keinginan dan harapan mereka sehingga terjadi dialogis dan interaksi.

Pemasangan gambar paslon di ruang publik seperti di sepanjang jalan tidak akan efektif hasilnya. Hanya pemilih tradisional yang tak banyak memiliki akses ke media sosial seperti internet yang akan memperhatikan pemasangan baligo, spanduk, billboard, dan pamlet cagub. Hanya pemilih tradisional yang berada di desa-desa selama ini masih kuat “budaya lihat”, sedangkan bagi pemilih di kota lebih efektif sosialisasi ataupun kampanye pilgub dilakukan dengan cara dialog.

Namun, di sisi lain, masyarakat di desa fanatismenya lebih tinggi karena sudah terkotak-kotak oleh partai. Mau tak mau tim sukses paslon harus jeli melihat situasinya. Jika tidak, akan menimbulkan konflik dengan memaksakan memasang gambar di wilayah basis pengusung yang berseberangan. Sebenarnya, cara jor-joran menempelkan media luar ruang hanya akan merusak estetika kota. Dalam menarik hati masyarakat, harus kembali pada konsep kearifan lokal, misalnya di kawasan tatar Sunda, cara sauyunan yaitu rembug jukung sauyunan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Malahan dengan pemasangan gambar lewat baligo, spanduk atau alat kampanye media luar lainnya di perkotaan, akan menimbulkan antipati, terlebih apabila ditempatkan pada lokasi basis pendukung lawannya. Sementara itu, bagi masyarakat perkotaan yang berpendidikan tinggi, cara pemasangan gambar melalui media luar ruang akan tak akan menemui sasaran. Lebih baik paslon melakukan dialog antar person atau dari mulut ke mulut. Cara ini lebih efektif jika dilakukan untuk sosialisasi atau menyampaikan misi dan visi para calon melalui debat kandidat. Akan tetapi, acara debat yang ditayangkan di stasiun televisi, bagi kalangan bawah bukan acara yang menarik. Hal ini dibuktikan sepinya penonton acara debat kandidat. Kecuali, acara debat paslon pada Pilkada DKI Jakarta.

Diakui atau tidak, kegiatan pesta demokrasi merupakan lahan bisnis. Pemilihan kepala daerah dan pemilihan calon legislatif banyak mengeluarkan biaya untuk pemenangannya. Sehingga tak heran, musim pemilu merupakan musim panen bagi pelaku usaha ini. Harus diakui, bahwa kampanye kepala daerah merupakan ajang bisnis. Pada saat ini, orientasi kekuasaan untuk merebut jabatan lebih condong pada bisnis semata sehingga tak ada pendidikan politik yang sehat bagi masyarakat.

Kota Bandung, terutama Jalan Surapati merupakan sentra pembuatan berbagai pernak-pernik berbagai atribut yang diperlukan para cagub dan pendukung serta simpatisannnya dalam menyosialisasikan maupun kampanye, seperti pembuatan baligho, spanduk dan kaos. Pernak-pernik emblem, mug dan stiker.

Harga kaos untuk kampanye berbagai macam harganya, mulai dari yang paling murah seharga Rp 7 ribu sampai Rp 50 ribu. “Semakin banyak, ya semakin murah harganya,” Igun salah seorang pengusaha pembuatan kaos lainnya. Ia mendapat pesanan kaos dari seorang simpatisan salah paslon di Cimahi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline