Lihat ke Halaman Asli

Alia Sukowati

Pelajar sekolah

Perlawanan dan Penindasan: Analisis Puisi "Bunga dan Tembok" oleh Wiji Thukul

Diperbarui: 6 Maret 2024   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Puisi "Bunga dan Tembok" karya Wiji Thukul adalah sebuah seni yang menggambarkan semangat perlawanan terhadap penindasan dan bpembatasan kebebasan yang diberlakukan oleh kekuasaan. Wiji Thukul menggunakan bunga dan tembok untuk menggambarkan ketegangan antara keinginan untuk tumbuh dan berkembang dengan hambatan yang diberlakukan oleh penguasa.

Puisi ini dimulai dengan penggambaran bunga sebagai simbol semangat manusia untuk berkembang di tengah pembangunan yang dilakukan oleh penguasa. Wiji Thukul menulis, "Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh, engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah." Dalam bait ini, bunga mewakili semangat manusia untuk berkembang dan tumbuh, sementara pembangunan oleh penguasa dianggap sebagai hambatan yang menghalangi proses tersebut.

Bait kedua menggambarkan ketegangan antara pembangunan oleh penguasa dengan semangat perlawanan bunga. Wiji Thukul menulis, "Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya, engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi." Pembangunan jalan raya dan pagar besi di sini menjadi simbol penindasan dan pembatasan yang dilakukan oleh kekuasaan. Namun, bunga tetap menunjukkan keteguhan dan keberanian untuk tetap hidup dan berkembang di tengah rintangan tersebut.

Bait ketiga mencerminkan nasib tragis bunga yang dirontokkan di bumi mereka sendiri sebagai akibat dari pembangunan yang dilakukan oleh penguasa. Thukul menulis, "Seumpama bunga, kami adalah bunga yang dirontokkan di Bumi kami sendiri." Dalam bait ini, Thukul menggambarkan penghancuran dan penindasan yang dilakukan terhadap rakyat oleh kekuasaan. Meskipun bunga mungkin dihancurkan, semangat perlawanan tetap hidup dan bersemangat.

Bait terakhir puisi mengekspresikan harapan dan keyakinan bahwa suatu hari, semangat perlawanan akan menghancurkan tembok penindasan tersebut. Thukul menulis, "Jika kami bunga, engkau adalah tembok itu, tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji, suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan: engkau harus hancur! Dalam keyakinan kami, di mana pun tirani harus tumbang!"

Dengan demikian, "Bunga dan Tembok" adalah panggilan untuk perlawanan, keberanian, dan keyakinan dalam menghadapi tirani. Thukul dengan sangat efektif menggunakan imageri dan bahasa yang kuat untuk menyampaikan pesan tentang semangat manusia untuk mencapai kebebasan dan keadilan, serta keyakinan bahwa kekuasaan pada akhirnya akan runtuh di bawah tekanan perlawanan rakyat. Puisi ini menjadi suara bagi mereka yang menentang penindasan dan sumber inspirasi bagi mereka yang berjuang untuk keadilan dan kebebasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline