Lihat ke Halaman Asli

Ali Arief

Seniman

Kenangan yang Tak Kembali

Diperbarui: 6 November 2020   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Gambar, dikutip dari Merdeka.com)

Kenangan itu masih membayangi ingatanku. Ketika aku duduk bersama  ayahku, bercerita di teras rumah. Ayahku bercerita tentang masa lalunya yang sangat menyedihkan. Aku seakan larut mendengarkan kisah Ayahku yang begitu mengharukan. 

Keluarga Ayahku berasal dari keluarga yang serba kekurangan. Segala sesuatu yang diinginkan oleh ayahku beserta saudaranya yang lain, harus dengan susah payah untuk meraihnya.

"Sejak ayah masih berusia 7 tahun, ayah bersama paman dan pakdemu harus berjuang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terkadang kami bertiga pulang hingga larut malam. Ayah menyemir sepatu, pamanmu berdagang asongan di persimpangan lampu merah, sedangkan pakdemu menjadi pengamen. Ayah, paman, dan pakdemu harus berjuang memenuhi kebutuhan hidup. Kakek dan nenekmu dalam kondisi sakit sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah." Pungkas ayahku mengawali cerita masa kecilnya kepadaku. 

Sesaat ibuku menghampiri dan meletakkan secangkir kopi dan teh hangat di atas meja. "Silakan kopinya diminum ayah, neh teh yang hangat ibu buatkan untukmu, Rif." Sambil meletakkan secangkir kopi dan teh di atas meja, ibuku kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Oh ya Rif, ketika Ayah masih berusia 10 tahun ada kenangan yang hingga kini masih tersimpan di dalam kotak hitam, yaitu sebuah benda pemberian dari kakekmu." Sambil menunjukkan sesuatu yang terdapat di dalam kotak hitam, ayahku terus bercerita melanjutkan kenangan masa lalunya. Aku pun memegang benda yang terdapat di dalam kotak hitam tersebut. Ya, benda yang terbuat dari kayu berbentuk lingkaran dengan lilitan benang di dalam benda tersebut.

"Ayah, mengapa benda mainan ini diberikan Kakek kepada ayah? Apakah paman dan pakde mendapatkan benda yang sama seperti ini? Tanyaku kepada ayah di sela-sela obrolanku dengannya. 

"Paman dan pakdemu mendapatkan sebuah cangklong rokok dengan warna dan bentuk kotak yang sama, dan semua itu diberikan kakekmu kepada kami bertiga agar selalu tetap saling menyayangi." Jawab ayah kepadaku. Aku seperti merasakan begitu besar kasih sayang kakekku kepada ketiga anaknya termasuk ayahku.

Saat diriku duduk di teras depan rumah bersama dengan ayahku, tiba-tiba saja pamanku muncul di hadapan kami berdua. Sambil menghampiri kami berdua, paman berbincang-bincang sejenak lalu menyampaikan kabar duka kepada ayahku. 

Aku merasa berita yang disampaikan paman kepada ayahku, telah membuat ayahku menjadi shock. Pamanku menyampaikan kabar duka, bahwa kakek meninggal dunia karena serangan jantung. Ayahku seakan tidak percaya jika kakekku terkena serangan jantung. Dengan perasaan sedih, ayahku segera menuju ke rumah kakek.

Di rumah kakek, terlihat para pentakziah membaca lantunan surat yasin di sisi tubuh jenazah kakekku. Aku melihat ayahku begitu tegar menerima cobaan yang dihadapinya, meskipun aku juga melihat ada kesedihan yang mendalam terlihat di raut wajahnya. 

"Kita harus tetap sabar menerima semua cobaan yang telah digariskan Tuhan kepada keluarga kita. Jangan pernah merasa, semua yang kita miliki akan kekal abadi. Bersabar dan selalu bersabar, atas segala ketentuan dan takdir yang telah diberikan-Nya kepada kita." Sambil mengelus-elus pundak Ayah, pakdeku membisikkan kata-kata nasihat untuk tetap bersabar menerima kenyataan akan kepergian kakek kepada ayahku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline