Lihat ke Halaman Asli

Ali Arief

Seniman

Cerpen: Napas Terakhir

Diperbarui: 26 Maret 2020   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku dihantui bayangan yang jelas masih membuat hati ini terasa sedih. Seminggu yang lalu tepatnya di malam Kamis, tanpa sengaja aku menyaksikan tubuh laki-laki yang berusia sekitar 56 tahun berada di dalam ventilator. 

Laki-laki itu, terus meronta kesakitan dengan ditemani dua orang anaknya. Dokter beserta perawat memasukkan laki-laki itu ke ruang ICU. Sedangkan keluarga yang ikut mengantarkan laki-laki itu, hanya diizinkan sampai di depan pintu saja. Keluarga dari pasien tersebut tertunduk sedih seakan tiada dapat berbuat apa-apa.

Aku menatap wajah kedua anak dari laki-laki itu dengan perasaan iba. Aku menanyakan kepada keduanya, apa yang telah terjadi pada ayahnya. 

Satu dari anak laki-laki itu menceritakan kejadian yang dialami oleh ayahnya, sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Laki-laki itu mengalami demam tinggi disertai sesak napas akut. Kejadian tersebut membuat panik kedua anak dari laki-laki itu.

Dokter dan perawat yang menangani laki-laki itu, keluar dari ruangan dengan menundukkan wajahnya. Ia memanggil satu orang dari keluarga pasien. " Kami sudah berusaha dengan maksimal, tetapi takdir berkata lain, tetap bersabar menerima cobaan ini." Itulah ucapan terakhir yang disampaikan dokter kepada keluarga pasien laki-laki tersebut.

Kejadian itulah yang membuat ingatanku kembali ke masa laluku. Saat itu, aku melihat sosok laki-laki tua berusia 70 tahun terbaring lemah di atas tempat tidur. Laki-laki tua itu adalah ayahku. 

Aku sangat sedih ketika ayahku mengalami stroke. Di atas pembaringannya, ia tidak melakukan apa-apa. Aku terus mendampingi beliau walaupun sebenarnya, perasaanku tidak kuat untuk melihat kondisinya.

Aku masih teringat ketika kebersamaanku dengan ayah di usia remajaku. Ayah mengajarkan banyak hal tentang perjuangan hidup. Aku dan ayah pernah menjadi kuli bangunan di tempat rekanan kerjanya. 

Memang saat itu, keluargaku mengalami masa yang sulit. Ayahku tidak lagi bekerja di perusahaan yang pernah membawa keadaan keluargaku bahagia. Namun, kehidupan ibarat roda berputar. Keluargaku harus menerima kenyataan pahit dalam menjalani kehidupan.

Aku bersama Ayah bekerja merenovasi pagar rumah teman sekantornya dahulu. Memang terasa sangat lelah bekerja sebagai kuli bangunan. 

Terkadang harus menahan lapar dan dahaga sebelum waktu untuk beristirahat. Aku banyak memetik pengalaman hidup dari pekerjaan seorang kuli bangunan. Aku harus berjuang, agar tidak seterusnya menjadi kuli bangunan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline