Lihat ke Halaman Asli

Jhon Qudsi

Pegiat Media Sosial

Kontestasi Pemilihan: Orang Kentut atau Baunya yang Dijadikan Acuan

Diperbarui: 18 November 2024   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar Dokpri 

Di negeri kentut, rakyatnya penuh semangat tapi sedikit terlalu fokus pada urusan di bawah pinggang, persoalan kentut menjadi isu yang tak pernah lekang oleh waktu. Para penduduk negeri ini sangat lihai berdebat soal suara dan bau kentut, seakan-akan hal itu menentukan nasib bangsa. Ironisnya, meskipun mereka berdebat keras soal bunyi dan aroma, hanya segelintir yang benar-benar mencium bau kentutnya sendiri.

Bayangkan, sebuah diskusi panas di forum publik tentang "Mana yang lebih penting: bunyi keras tapi sekejap, atau aroma membekas tapi tanpa suara?" Orang-orang saling menunjuk: si A dianggap terlalu keras, si B terlalu bau, sementara si C mencoba menenangkan dengan berkata, "Yang penting, kita semua sama-sama kentut, bukan?" Namun, yang lainnya justru memprovokasi: "Apa perlu kita adakan kontes? Pemenangnya yang bisa kentut dengan cara paling unik!"

Tetapi inilah cerminan cara kita menghadapi perbedaan pendapat. Di negeri kentut, semua orang sibuk mencari pembenaran atas caranya sendiri, tetapi lupa akan satu hal mendasar: semua kentut berasal dari gas yang sama. Mau keras atau pelan, mau wangi (entah bagaimana itu bisa terjadi) atau busuk, esensinya tetaplah pelepasan tekanan. Apakah kita terlalu arogan untuk menerima bahwa, pada akhirnya, baunya akan tercium sama di hidung orang lain?

Di musim politik. Ah, di sinilah tingkat sindiran tentang kentut mencapai puncaknya. Terkadang, niat seseorang hanya ingin kentut ringan untuk melegakan perut, tetapi yang keluar malah "ampas kuning" --- kombinasi cair dan padat yang tak terduga. Ya, orang kentut dalam situasi politik memang begitu: penuh kejutan, seringkali tak sesuai rencana. Dan rakyat? Mereka hanya bisa tertawa getir sambil membersihkan sisa-sisa kekacauan.

Betapa seriusnya orang-orang membahas intensitas kentut, padahal mereka melupakan aromanya sendiri. Sebuah pelajaran besar bagi kita semua: sebelum mengomentari kentut orang lain, sudahkah kita mencium bau kentut kita sendiri? Sebelum menilai bunyi orang lain, sudahkah kita menyadari volume suara kita? Di negeri ini, kebijaksanaan sejati adalah kemampuan untuk tertawa pada diri sendiri --- menerima bunyi, bau, dan segala konsekuensi kentut kita.

Mungkin, solusi untuk mempromosikan seni kentut secara bijak. Mari kita rayakan keberagaman suara dan aroma, bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk saling memahami. Sebab, seperti fatwa kentut, "Satu kentut di lain dubur, baunya tetap sama." Maka, salam hangat untuk para pencinta perdamaian dan keadilan aroma: rawatlah keberagaman kentut dengan cara bijaksana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline