Lihat ke Halaman Asli

Esai Ekonomi Syariah

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Optimalisasi Peran Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

dalam Pemberdayaan Usaha Mikro Guna Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia

Abstraksi

Esai ini mengungkap tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan optimalisasi peranannya dalam pemberdayaan usaha mikroguna mengurangi angka kemiskinan di Indonesia melalui penciptaan lapangan kerja bagi pengangguran. Berbagai strategi telah dilakukan untuk menstimulus keberadaan usaha mikro, namun usaha mikro tetap menghadapi beberapa hambatan berupa akses modal yang terbatas dan dihadapkan dengan peraturan-peraturan yang masih cukup menyulitkan dari Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK). Strategi yang saat ini dirasa paling tepat untuk memberdayakan usaha mikro adalah mengoptimalisasi peran dari LKMS. Pemberdayaan LKMS yang menggunakan prinsip bagi hasil memberikankesempatan bagi masyarakat miskin dan sangat miskin sebagai subyek yang aktif berperandalam upaya pemberantasan kemiskinan melalui peminjaman modal untuk memulai usaha. Sayangnya tidak semua LKMS berhasil menjalankan misi pemberdayaan usaha mikro karena kurangnya modal, tidak adanya payung hukum yang jelas, dan resiko yang dihadapi.Solusi atas permasalahan tersebut adalah kerjasama pemerintah dengan LKMS dalam penyaluran pembentukan UU LKMSKeberadaan LKMSsejauh ini memberikan konstribusi positif dalam peran aktifnya memberdayakan usaha mikro, yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktifitas masyarakat miskin dan sangat miskin, mencegah ketimpangan distribusi pendapatan, dan pada akhirnya mengurangi angka kemiskinan sehingga solusi untuk mengatasi hambatan yang ada harus diilaksanakan.

Kata Kunci : Pengangguran, Kemiskinan, Usaha Mikro, LKMS, Indonesia.

Alia Noor Anoviar (0906490645)

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

I.Pendahuluan

Badan Pusat Statistik (BPS) berpendapat bahwa indikator nominal rata-rata kemiskinan di Indonesia sebesar Rp 211.000 per bulan per orang berdasar tingkat kebutuhan makanan dan non makanan. Sementara itu, Bank Dunia telah membuat pengukuran relatif mengenai kemiskinan dengan berstandar pada konsep purchasing power parity, yakni mulai dari standar US$ 1 , US$ 1,25 hingga US$ 2 per hari. Menurut Bappenas, kemiskinan adalah ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Berdasarkan tiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang menunjukkan ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk hidup layak. Namun terdapat perbedaan indikator nominal antara standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS dan Bank Dunia berkisar antara Rp 91.000 – Rp Rp 391.000 per bulan jika kurs $ diasumsikan Rp 10.000 dan dalam satu bulan diasumsikan 30 hari.

Anggota Komisi II DPR RI Budiman Sudjatmiko (2011) mengungkapkan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara dalam zona merah yang mengklaim berada di zona biru dalam hal kemiskinan. Tingkat kemiskinan domestik Indonesia berdasarkan data BPS menunjukkan posisinya di zona biru atau di bawah 20 persen. Padahal menurut standar Bank Dunia, Indonesia berada di zona merah dengan tingkat kemiskinan antara 41 persen sampai 60 persen. Level ini sama dengan beberapa negara Afrika, Yaman, Pakistan, Mongolia, Vietnam, dan Philipina.[1]

Menurut Rafiqoh Rokhim (2011)[2], jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan karena adanya KUR dan Program BLT. Sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 berturut-turut sebesar 39,1 juta jiwa, 37,2 juta jiwa, 35,0 juta jiwa, 32,5 juta jiwa, dan per 2010 menurun kembali menjadi 31,02 juta jiwa. Hal ini berkorelasi positif dengan tingkat pengangguran yang juga menurun dari 10,28 % per Agustus 2006 menjadi 7,14 % per Agustus 2010 (BPS, 2010).

Berbagai program telah dilaksanakan dalam rangka pengentasan kemiskinan, namun masih terjadi banyak hambatan untuk menuju Indonesia bebas kemiskinan, misalnya pemerintah masih memosisikan masyarakat miskin dan sangat miskin sebagai objek daripada subjek dengan memberikan BLT. Seharusnya mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan, salah satunya dengan memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Upaya dalam mengurangi angka pengangguran harus dilakukan karena memiliki korelasi terhadap angka kemiskinan. Upaya besar yang telah dilakukan sejauh ini adalah proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah menyebar hingga pelosok desa. Program ini memicu tumbuhnya UMKM terutama dalam skala usaha mikro sehingga dapat mengembangkan sektor riil Saat jumlah orang yang menganggur meningkat akan maka angka kemiskinan dan masalah sosial meningkat pula. di Indonesia.[3] Namun program ini juga mengalami hambatan, misalnya di Kabupaten Bireun terrdapat masalah dana tersendat sehingga proyek PNPM terlantar.[4]

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria kepemilikan aset maksimal Rp 50.000.000,- dan omset maksimal Rp 200.000.000,-. Menurut Hendro Wibowo [5](2011), usaha mikro saat ini mencapi 99,9 % dari total UMKM di Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga mampu menampung pengangguran yang ada. Namun usaha mikro kerap kali tersendat masalah permodalan sehingga perlu adanya sarana pembiayaan. Sejauh ini telah ada Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) yang berperan aktif memberikan pinjaman pada UMKM, namun LKMK hanya memiliki sasaran pembiayaan orang miskin. Sementara itu, bagi orang sangat miskin seringkali tidak memiliki akses terhadap permodalan sehingga keberadaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) menjadi solusi potensial bagi kalangan tersebut untuk memiliki usaha mikro sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan pribadi pada khususnya dan mengurangi angka kemiskinan pada umumnya. LKMS dapat berbentuk lembaga keuangan bank, misalnya Bank Muamalat, dan non bank, misalnya BMT.

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ada untuk menolong masyarakat sanagt miskin sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kerangka itu, keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan yang akan memberdayakan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin atau pengusaha kecil. Jadi, keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah (Luluk Widyawan, 2006).[6]Pemberdayaan usaha mikro melalui LKMS merupakan langkah strategis dalam menghadapi masalah klasik usaha mikro, yaitu akses terhadap modal yang terbatas.Hadi Paramu(2011)[7] menjelaskan bahwa persoalan mendasar usaha mikro adalah financial accessibility sehingga LKMS perlu memperhatikan hal ini sehingga usaha mikro yang menjadi target bisa mampu mengakses.

Tujuan penulisan esai ini adalah untuk mengkaji alternatif strategi yang dapat dikedepankan gunamemutuskan mata rantai kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro di Indonesia sebagai penggerak sektor riil yang menyentuh masyarakat miskin dan sangat miskin dengan optimalisasi sarana pembiayaan LKMS.

II.Pembahasan

Tabel 1 akan menggambarkan perbedaan antara Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).

Tabel 1 : Perbedaan antara LKMK dan LKMS[8]

Faktor

LKMK

LKMS

Sumber pendanaan

Dana pihak ketiga dan dana donor.

Dana pihak ketiga dan dana yang bersumber dari amal (ZIS).

Jenis pembiayaan

Berbasis bunga.

Bagi hasil, margin, dan ujrah (instrumen keuangan islam)

Sasaran pembiayaan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline