Dulu fanatisme terhadap figur calon presiden tidak seperti sekarang ini. Dulu memberikan dukungan terhadap siapapun tidak menjadi soal. Sehingga saat satu diantara calon menang dan yang lainnya kalah, kehidupan akan kembali normal. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Paling yang kecewa hanya para elit politik di atas. Rakyat tetap adem ayem.
Beda dengan sekarang. Sebelum pilpres bahkan sampai roda pemerintahan berjalan. Fans fanatik masih tetap saling melakukan berbagai caci maki dan saing hujat. Yang kontra akan selalu melihat dari sudut negatif. Sedangkan yang pro selalu menjadi tameng terhadap sang penguasa.
Beda dengan dahulu. Masyarakat menilai pemerintahan lebih realistis. Yang salah dikatakan salah. Yang benar dikatakan benar. Jikapun mengkritik pasti akan tetap memberikan solusi. Sekarang beda lagi. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah semuanya terkesan salah. Yang mendukung pun demikian. Apapun kebijakan pemerintah dianggapnya sudah paling benar. Seolah semuanya nyaman dan tak ada masalah sedikitpun.
Jika dulu mahasiswa lebih kritis. Sekarang mahasiswa lebih memilih diam. Entah sibuk apa sayapun tidak pernah tahu. Yang kritis hanyalah orang-orang tertentu. Kebanyakan yang kecewa karena yang didukung kalah.
Medsos memang telah merubah 180 derajat kehidupan masyarakat Indonesia. Namun kemajuan dalam berteknologi tak dibarengi dengan minat baca yang memadai. Sehingga informasi dari dunia maya dia telan mentah2. Apapun yang dilihat dari pendukung akan dianggap sebagai sesuatu yang benar sedangkan yang lain salah. Kondisi ini mengakibatkan banyak orang yang gagal paham. Yang lebih parah, meskipun mereka sudah gagal paham, mereka tidak mau diberi pemahaman. Karena sudah terlanjur tidak suka dengan yang tidak didukungnya. Persoalan ini kemudian merembet sampai kemana2 bahkan sampai ke SARA.
Indonesia sekarang ini seperti terpecah menjadi dua. Pro Jokowi dan Pro Prabowo. Padahal kalau boleh jujur. Kita ini siapa? hanya pendukung. Tak lebih dari itu. Setelah memberikan hak suara kita akan kembali pada profesi semula. Namun entah mengapa karena beda dukungan kemudian menjalar pada permusuhan antar sesama. Antar keluarga dan antar saudara.
Lebih miris lagi terkadang ulama atau tokoh publik yang sebelumnya dibangga-banggakan menjadi bahan olok-olokan dari kedua kubu. Ingat sampai kapanpun kita tidak akan bisa menyatukan perbedaan. Kita hanya bisa menghargai perbedaan tersebut karena itu adalah kodrat. Sampai kapanpun kita tidak bisa menganggap pendapat kita paling benar. Karena orang lain juga memiliki dasar.
Kenapa kita tidak pernah melihat kebenaran dari sudut pandang yang berbeda. Kenapa kita tidak pernah menyatukan pendapat lain dengan pendapat kita, sehingga kita bisa menyikapi persoalan secara realistis dan lebih dewasa. Kenapa kita masih mengutamakan ego daripada kepentingan bersama. Bukankah itu yang selalu kita gaungkan. Kenapa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H