Tetangga adalah saudara paling dekat, jika ada masalah yang menimpa kita merekalah orang pertama yang tahu dan akan memberikan pertolongan, ketika ada musibah dan lain sebagainya mereka juga yang akan lebih tahu dan segera mendatangi kita.
Demikian halnya dengan Malaysia mereka adalah negara tetangga yang dekat dengan kita. Bila ada persoalan merekalah negara pertama yang akan kita mintai pertolongan, jika ada masalah yang menimpa masyarakat di perbatasan mereka juga negara pertama yang akan memberikan pertolongan.
Kita lihat saja, berapa ribu orang Indonesia yang mengadu nasib di Malaysia, apakah itu bekerja sebagai TKI, berdagang, pelayanan jasa atau bahkan menjual hasil bumi ke negara tersebut. Sedangkan bagi PLN Kalbar, keberadaan Malaysia juga amat dibutuhkan terutama untuk pemenuhan kebutuhan listrik yang hingga kini masih defisit di Kalbar.
PLN Kalbar akan membeli setrum dari negara pembuat film Upin dan Ipin itu, kini proses kerjasama sudah dibangun, PLN berjanji ketika PLN dari Malaysia sudah terkoneksi, maka byar pet yang sering terjadi hampir setiap hari tak bakal terulang kembali.
Manajer Area Pelayanan dan Distribusi Pelanggan (APDP) PLN Wilayah Kalbar, Ricky Cahya menuturkan pada awal Februari nanti daya listrik yang dibeli dari perusahaan listrik Syarikat Sarawak Electrical Supply Corporation (Sesco) Berhad (Bhd) akan masuk kedalam sistem guna melayani pelanggan PLN Kalbar. (http://pontianak.tribunnews.com/2016/01/15/pln-kalbar-beli-listrik-sarawak)
Mau tidak mau, suka tidak suka, kendatipun sering berselisih paham akibat klaim pulau dan hasil karya anak bangsa, bagaimanapun Malaysia adalah tetangga kita, tetangga yang telah memberikan manfaat banyak bagi masyarakat di sekitarnya.
Jika anda tidak percaya lihatlah beberapa daerah yang ada di perbatasan Malaysia, seperti Entikong Sanggau, Aruk Sambas, Sintang, Bengkayang dan Kapuas Hulu, dan beberapa daerah lain di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Percaya atau tidak hampir sebagian besar mereka mengandalkan hidup dari sana. Bahkan ada beberapa diantara anak Indonesia yang bersekolah di Malaysia. Soal perut mereka boleh mengandalkan Malaysia, namun nasionalisme jangan pernah ragukan mereka.
Kenapa warga perbatasan menggantungkan hidupnya dengan Malaysia? Karena akses jalan menuju negara tersebut lebih dekat ketimbang ke ibu kota kecamatan. Mungkin jika harus ke kecamatan mereka membutuhkan waktu sampai 7 atau 8 jam, sedangkan ke Malaysia hanya 2 jam. Belum lagi potensi ekonomi di Malaysia yang lebih menjanjikan ketimbang di Indonesia.
Memang ada beberapa hal yang terkadang membuat iri masyarakat di perbatasan. Di Indonesia kondisi jalannya masih buruk, pembangunan yang dilakukan tak sebanding dengan daerah lain di Jawa, sementara hanya beberapa meter kedepan jalan di Malaysia mulus dan licin. Daerahnya bersih.
Namun tengoklah reaksi lebay masyarakat diperkotaan sana, yang merasa paling nasionalis ketika ada sedikit gejolak yang terjadi dengan Malaysia. Padahal gejolak tersebut sengaja diciptakan kalangan parlemen dan pemangku kebjikan, sementara orang-orang perbatasan tetap saja anteng adem dan ayem.