Model wakaf dengan patungan adalah hal biasa terhadap tradisi wakaf di pedesaan. Prakteknya mudah ditemukan di jalan-jalan di sepanjang pedesaan. "Amalan" demikian masyarakat kita menyebutnya. Panitia pembangunan masjid mempromosikan programnya agar diketahui para donatur jalanan. Selanjutnya kebaikan mereka dalam bentuk Cash Waqf masuk ke kotak amal yang telah disediakan panitia.
Gaya wakaf uang kontan ala ndeso sudah berjalan bertahun-tahun. Jauh sebelum Undang Undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf diundangkan, Zaim Saidi menulis Sumbangan Sosial Perusahaan 2003, Anwar Ibrahim, Waqf Nuqd dalam Perspektif Islam 2009, Adil Syahin, Akhdzul Mal ala A'malu al Qurab, 2004, Muhammad Yunus dengan SILB nya fenomenal mengerek kemiskinan Bangladesh ke level berduit bahkan Fatwa MUI tentang Wakaf Uang 2003, dlsb.
Cash Waqf pedesaan sudah berjalan alamiah, produk kearifan lokal dengan kesederhanaannya yang lintas zaman selama ini. Dulu pola fundraising jalanan telah dipraktekkan lintas etnis. Kini hanya etnis tertentu yang merawat tradisi ini. Disinyalir pola fundraising modern dengan kaplingisasi "jual" masjid menjadi trending untuk menjalin donatur wakif.
Prinsipnya sama. Memperoleh donasi, menjaring calon wakif untuk "membeli" kavling tanah yang hendak dibangun. Sentuhan manajemen modern fundraising khas pedesaan teradopsi dengan aneka modifikasi sebagai bagian dari peka zaman.
Sertifikat Cash Waqf Minimalis.
Saat berlibur ke Bali, Masjid Besar al-Huda Kediri Tabanan Bali menawarkan sertifikat wakaf uang untuk pembebasan tanah yang hendak di bangun tempat parkir bagi jamaah masjid tersebut. Panitia menawarkan sertifikat itu untuk ditebus dalam Rp. 50, 100, 200, 300, 400 ribu. Cukup ringan di kantong. Tentu mudah dijangkau oleh calon wakif yang berpenghasilan tiga juta perbulan.
Inilah yang dalam buku Filantropi Guyub ; Kala Orang Desa Berwakaf, disebut dengan sentuhan manajemen modern berupa kavlingisasi tanah yang hendak ditebus, menyesuaikan pendapatan dan memetakan kemampuan keuangan calon wakif itu. Pola fundraising semacam ini lebih menyentuh psikologi keuangan calon wakif zaman kini yang terkotak kotak. Artinya literasi keuangan modern kaum millenial, satu contoh, kemana pendapatan akan dibelanjakan, mencoba disentuh oleh nadzir. Seakan nadzir menitip pesan agar sisihkan slot belanja keuangannya untuk program yang telah disusunnya.
Lambat laun pola "jual kavling masjid" dan semacamnya akan viral di tengah umat Islam. Alasannya simple, mudah dijangkau. Wakif mendapatkan "kehormatan" dengan memperoleh sertifikat wakaf uang made in panitia pembangunan.
Jika menelaah cash waqf resmi, jelas jauh nilainya. Minimal setoran yang dibayar adalah satu juta. Wakif mendatangi bank yang ditunjuk oleh BWI, yakni bank syariah tertentu sebagai LKS PWU. Bank ini sebagai nadzir sementara yang menyediakan formulir untuk diisi oleh wakif.
Sertifikat cash wakaf minimalis ini bisa dikloning dengan seminimalisir mungkin. Guna menyasar calon wakif yang berekonomi menengah ke bawah. Atau level lebih bawah lagi. Calon wakif dengan pendapatan 1 sampai 3 juta perbulan, memiliki gairah tak terbendung untuk mendonasikan sebagian hartanya untuk menjadi wakif pada ada pembangunan masjid, musholla, tempat pendidikan yang ada di tempat tinggalnya. Mereka jumlahnya lebih banyak dan berjiwa filantrophis.
Kreativitas Nadzir
Respon nazir dituntut dalam hal ini kepandaiannya untuk peka zaman. Disamping mempertahankan tradisi pola fundraising jalanan yang selama ini terjadi, namun menambah sentuhan modern dalam memperluas calon wakif yang lintas zaman.