Wakaf Sahabat Abdullah bin Umar; Wakaf untuk Keluarga
.
Imam Bukhari RA berkata, "Ibnu Umar mewakafkan jatah rumah yang didapatkan dari Umar, sebagai tempat tinggal bagi keluarga [Bani] Abdullah [Bin Umar] yang membutuhkan." (Shahih Bukhari).
Salah satu khas dari wakaf keluarga sahabat Umar bin Khattab adalah wakaf [yang kepengelolaannya dan sedikit manfaatnya untuk] keluarga. Dalam sebuah hadits lain disebut saat Sahabat Umar [bin Khattab] wafat maka wakaf beliau berupa kebun di Khaibar yang legendaris itu kepengelolaannya diserahkan kepada anaknya, Hafshah. Tentu beliau memahami akan hal ini. Baik tentang amanah dan lainnya. Terlebih tentang hukum, beliau dikenal sebagai mujtahid atas aneka problem umat yang membutuhkan fatwa segera. Ijtihadnya yang masyhur adalah tentang shalat tarawih berjamaah dan tambahan rakaat sampai 23 include shalat witir.
Ibnu Umar putra beliau tidak lepas dari apa yang nampak sang ayah. Sebagai putra yang taat, ada beberapa karakter yang menurun pada putranya. Karakter beliau juga diperoleh dari ayahnya pada saat hijrah. Ibnu Umar melihat fenomena ayahnya patuh kepada Rasulullah SAW. Pendidikan ayah-Rasul-sahabat lain di masa perjuangan itulah membentuk watak yang kental kelak saat berkontribusi kepada umat.
Dikenal sebagai ahli sedekah Ibnu Umar termasuk orang yang hidup sejahtera, ia dikenal seorang saudagar yang sukses. Namun harta yang melimpah, selalu ia bagi-bagikan sebanyak-banyaknya kepada fakir miskin dan anak yatim. Ayub bin Ma'il Ar Rasibi bercerita, Ibnu Umar pernah membagi-bagikan sedekah senilai
4.000 dirham, lalu pada keesokan harinya ia berhutang 1 dirham, untuk membeli makanan bagi hewan yang dikendarainya. Abu Nuaim meriwayatkan dari Muhammad bin Qais, ia berkata, "Tidaklah Abdullah bin Umar makan, kecuali bersama orang- orang miskin, hingga hal tersebut memengaruhi kesehatan tubuhnya."
Ibnu Umar amat menyadari bahwa takdir, rizki ditangan Allah SWT. Tidak ada seorang yang mampu "menganggu" hak-Nya untuk menentukan atas pelimpahan rizki kepada seseorang. Termasuk kepada keluarganya. Namun demikian pemahaman itu bukan menghapus hak manusia untuk mengantisipasi. Artinya antisipasi itu dipahami bagian dari takdir. Bukankah saat wabah thaun tiba disuatu tempat Sahabat Umar berijtihad dengan tidak masuk kesuatu daerah pandemic atas alasan "berpindah dari takdir [kematian sebab wabah] kepada takdir yang lain."
Pun demikian dengan Ibnu Umar. Anak cucu adalah "aset" yang harus dijaga "keberlanjutan" kehidupannya. Mereka adalah bukti eksistensi seseorang tentang karakter, pendidikan, gaya hidup serta model ibadah orang tuanya. Ada pameo mengatakan anak adalah fotocopy orang tua, meski dalam kasus kasus tertentu tidak perlu dijadikan sebagai sumber kebenaran. Tentang hubungan orang tua-anak sepeninggal orang tua, Al-Qur'an berpesan untuk tidak meninggalkannya dalam keadaan lemah. Terlebih adalah lemah secara ekonomi.
Rumah sebagai Benda Wakaf untuk Keluarga
Siapa yang tidak membutuhkannya sebagai tempat berteduh
rumah dan berbahagia Bersama beluarga dan anak cucunya.
Terlebih pada masyarakat arab zaman baheula. Kondisi geografis padang pasir, tanah dan perbukitan tandus membentuk karakter Arab yang keras bahkan kanibal. Berperang adalah tradisi untuk memperoleh kejayaan ekonomi sebuah komunitas. Komunikasi sebagai basis kerjanya. Sebab itulah dalam sejarah menulis profesi masyarakat Makkah berada di bidang jasa, satu profesi yang mengandalkan kelihaian dalam bertransaksi. Untuk melatih kepandaian, keliahaian dan seni dalam komunikasi ini, terdapat pasar bernama Ukaz yang kerapkali beradu syair.
Bagaimana jika watak bawaan anggota keluarga yang plegmatis, melankolis? hal ini menjadi bagaian ijtihad antisipatif dari Ibnu Umar. Redaksi hadits menulis "... untuk yang membutuhkan
..." Dimungkinkan di antara anak keturunan beliau "mengawali"
kehidupan ekonominya, mengalami kesulitan hidup, kurang beruntung dalam kompetisi kehidupan, sehingga mendapati kesulitan dalam hidup. Maka di sini peluang untuk "berteduh" sementara dibutuhkan.
Ibnu Umar menyadari bahwa betapa penting sebuah rumah untuk keluarga. Landasan sedekah rumah untuk keturunan tidak lepas dari fenomena kemiskinan yang menghiasi sejarah awal Islam. Terlebih semasa ayahandanya Sahabat Umar bin Khatahab semasa khalifah bekeliling malam hari untuk ronda warganya. Beliau mendapati ibu yang menanak batu semata mata untuk menenangkan anaknya yang lapar menjelang tidur, sedang ia tinggal di tenda. Atau kisah calon menantu Khalifah Umar yang hidup dirumah berukuran mini. Lalu beliau menawarkan kepada putranya Ashim untuk menikahinya sebab kejujurannya untuk tidak mencampur susu dengan air yang hendak dijualnya.