Lihat ke Halaman Asli

Ancaman Konflik Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia

Diperbarui: 6 Juni 2024   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di edit ulang dari gambar Data Fakta

Konflik Laut Cina Selatan terus menjadi perbincangan di media-media nasional dan internasional. Berbagai analisa ekonomi, politik dan pertahanan bergulir setiap hari. Namun berbicara mengenai konflik Laut Cina Selatan tanpa mempertimbangkan sistem ekonomi politik kapitalisme yang berkuasa saat ini tidaklah menyentuh akar persoalan. Pembicaraan semacam ini tidak akan melahirkan solusi yang efektif karena setiap konflik atau perang punya kaitan erat dengan sistem kapitalisme.

Konflik dan perang bersifat inheren dalam sistem kapitalisme. Berbagai analisa yang bermunculan menganggap bahwa konflik Laut Cina Selatan disebabkan oleh kegagalan diplomasi dan lemahnya sistem pertahanan. Namun penyebab yang paling mendasar sebenarnya adalah konflik antar kepentingan ekonomi dari kekuatan-kekuatan kapitalis yang bersaing.

Kapitalisme adalah sistem produksi yang menempatkan komoditas sebagai yang paling utama. Komoditas yang diproduksi harus dijual untuk mendapatkan keuntungan. Dan keuntungan ini semakin hari harus semakin besar, karena seorang kapitalis harus terus berinvestasi untuk meningkatkan kecanggihan produksinya, agar tidak tersingkir dalam persaingan dengan kapitalis lain. Inilah yang disebut akumulasi kapital, bagian pertama dari sistem kapitalisme. Karena harus terus memproduksi barang untuk dijual demi mendapatkan keuntungan, kapitalisme juga harus memperluas jangkauannya, baik untuk mencari bahan baku, tenaga kerja murah, ataupun konsumen. Inilah yang disebut dengan ekspansi, bagian kedua dari sifat dasar kapitalisme. Pada puncak tertingginya, kapitalisme mengambil bentuk imperialisme. Kemudian, kapitalisme akan menggunakan cara-cara yang eksploitatif untuk mendapatkan keuntungan. Inilah bagian ketiga dari sifat dasar kapitalisme. Konflik dan perang adalah salah satu cara eksploitatif yang dilakukan kapitalisme untuk menjual produknya dan memperluas pasar serta modalnya.

Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan adalah konflik antara negara-negara kapitalis. Laut Cina Selatan menjadi rebutan karena mengandung sumber daya alam yang melimpah. Sebuah artikel yang ditulis oleh Winoto menjelaskan ‘Laut China Selatan memiliki cadangan lebih dari 20 miliar ton Minyak dan Gas, dikenal sebagai “Teluk Persia kedua”. Kaya akan sumber daya mineral, mengandung 35 jenis logam seperti mangan, besi, tembaga, kobalt, dan nodul mangan langka; tanaman yang tumbuh di pulau ini tahan terhadap garam, tahan kekeringan, dan tumbuh subur, sumber daya ikan berlimpah, ada lebih dari 1.500 spesies, mackerel, Ikan kerapu, tuna, dll. Pada bulan Desember 2010, “Laporan Hasil Pengeboran Hidrat Gas Alam di Perairan Shenhu di Laut China Selatan Utara” yang diselesaikan oleh Survei Geologi Kelautan Guangzhou dari Kementerian Pertanahan dan Sumber Daya Tiongkok melewati tinjauan akhir.'

 Laporan tersebut menunjukkan bahwa para peneliti telah menemukan 11 buah materi tambang bijih es yang mudah terbakar (sejenis sumber energi berupa Es yang mudah terbakar, butuh teknologi tinggi untuk pengolahan menjadikannya sebagai sumber energi siap pakai yang ramah lingkungan), di area target pengeboran 140 kilometer persegi, dengan total luas sekitar 22 kilometer persegi, ketebalan efektif rata-rata lapisan bijih sekitar 20 meter, dan perkiraan cadangan sekitar 19,4 miliar meter kubik. Analisis terhadap komposisi gas dan isotop sampel yang mengandung es yang mudah terbakar oleh personel penelitian ilmiah menunjukkan bahwa gas cakrawala yang diperkaya es yang dapat terbakar di daerah pengeboran terutama metana, dengan kandungan rata-rata 98,1%, yang terutama gas genesis mikroba.’

Kepentingan ekonomi politik inilah yang memicu konflik di Laut Cina Selatan, yakni memperebutkan sumber daya alam agar bisa diproduksi dan dijual kembali untuk kepentingan profit. Konflik Laut Cina Selatan juga bagian dari cara kapitalisme untuk mengatasi krisis berkepanjangan sejak 2008. Jika terjadi perang, maka perusahaan-perusahaan yang memproduksi alutsista akan laku dijual. Cina sebagai negara imperialis baru yang sedang berekspansi mempengaruhi dunia, harus berhadapan dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan imperialisme lama. Kepentingan kekuatan-kekuatan imperialisme telah memicu konflik di Laut Cina Selatan. Amerika Serikat membangun aliansi dengan negara-negara kapitalis, seperti Filipina dan Taiwan untuk melawan Cina. Perang ekonomi ini sangat berisiko pecah menjadi perang militer, seperti yang terjadi antara Palestina dan Israel serta Rusia dan Ukraina.

Lenin dengan ringkas menjelaskan bahwa imperialisme adalah tahapan tertinggi dari kapitalisme. Apa yang dimaksudkan Lenin itu terjadi hari ini. Bahwa imperialisme adalah tahapan tertentu dalam perkembangan kapitalisme, yakni kapitalisme yang telah “membusuk” di mana persaingan bebas telah digantikan dengan monopoli.  Artinya, ketika terjadi kontradiksi antara negara-negara kapitalis, itu menunjukkan krisis kapitalisme sudah mencapai titik tertingginya.

Dampak dari konflik Laut Cina Selatan akan menyebabkan pelambatan ekonomi dunia, pengetatan kebijakan moneter di negeri-negeri pengekspor kapital, serta krisis inflasi. Dampak-dampak ini tentu akan sama terhadap perekonomian dan kedaulatan Indonesia.

Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Artinya, yang paling utama terkena dampaknya ketika konflik Laut Cina selatan meluas adalah rakyat: masyarakat perbatasan, kaum buruh, petani, dan rakyat miskin Indonesia. Untuk itu, bagi penulis, solusi dari ancaman konflik Laut Cina Selatan yang diusulkan untuk Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang akan terpilih adalah:

1. Nasionalisasi perusahaan swasta di Indonesia yang memegang tuas-tuas ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline