Lihat ke Halaman Asli

Ali Akbar Ritonga

Mahasiswa Institut Pertanian Bogor

Manajemen Stress dan Kesejahteraan Keluarga: Tantangan dan Solusi untuk Keluarga Suami-Istri yang Bekerja di Pedesaan

Diperbarui: 21 November 2023   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penulis : Ali Akbar Ritonga (H1401221005), Nandita Maywa Nova (H1401221002), Zyahwa Aprilia (H1401221007), Rayyan Syahrani (H1401221008), Ricky Adi Novianto (H1401221013)

Dosen Pengampu :

Dr. Irni Rahmayani Johan, SP, MM (IRJ)

Dr. Megawati Simanjuntak, S.P., M.Si (MGS)

Departemen Ilmu Keluarga Konsumen, FEMA IPB

Kebutuhan masyarakat terus meningkat seiring berjalannya waktu, misalnya, gawai dan internet yang kini menjadi kebutuhan penting karena digunakan untuk dapat berkomunikasi dan mengakses informasi. Gawai dan internet yang semula merupakan kebutuhan tersier kini menjadi kebutuhan primer seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, seiring kemudahan bertransaksi sebagai akibat dari ledakan financial technology atau teknologi finansial menyebabkan permintaan masyarakat akan barang meningkat dan membuat harga melambung tinggi atau inflasi. Akan tetapi, meningkatnya kebutuhan masyarakat dan fluktuasi harga komoditas seringkali tidak diiringi dengan adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Sehingga, di era modern ini, keluarga yang suami dan istrinya bersama-sama mencari nafkah sudah menjadi hal yang lumrah. Hal tersebut pun tidak hanya terjadi di perkotaan, namun terjadi pula di pedesaan. 

Lantas, apakah kondisi suami-istri bekerja mengurangi alokasi waktu mereka untuk keluarga? Lalu, apakah hal tersebut berpengaruh terhadap manajemen stress dan kesejahteraan keluarga? Pertama, mari kita lihat beberapa penelitian terdahulu yang membahas mengenai hal tersebut. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk bekerja bisa membawa pengaruh psikologi dan fisik yang berbeda terhadap setiap pasangan menikah (Doumas et al., 2008). Sebagai contoh, individu yang mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk bekerja secara psikologi akan menurunkan energi yang akan dialokasikan untuk menjalankan peran sebagai suami dan istri dalam keluarga. Namun, seringkali batas antara pekerjaan dan keluarga dapat menjadi semu, yaitu ketika pekerjaan terasa seperti rumah dan rumah terasa seperti pekerjaan (Olson et al., 2011). Ketika terjadi ketidakseimbangan urusan pekerjaan dan keluarga, masalah pernikahan akan muncul (DeGenova, 2008).

Masalah pernikahan yang diakibatkan oleh terbaginya waktu untuk pekerjaan dan keluarga dalam keluarga dual-earner salah satunya terkait dengan manajemen stress suami dan istri. Hal tersebut dikarenakan, dukungan dari pasangan dapat mempengaruhi bagaimana seseorang mengatasi stres dan menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari (Wang & Repetti, 2014). Sejalan dengan hal itu, sebuah penelitian menjelaskan bahwa dukungan dari sumber sosial lainnya tidak dapat mengkompensasi hubungan pernikahan yang rendah (Coyne & DeLongis, 1986), dan, semakin besar mobilisasi dukungan dari sumber selain pasangan di dalam hubungan pernikahan diasosiasikan dengan permasalahan pernikahan (Julien & Markman, 1991). Sedangkan, dalam keluarga dual-earner waktu dan energi suami atau istri akan terbagi antara pekerjaan dan keluarga yang juga mempengaruhi intensitas komunikasi yang biasanya mereka miliki.

Selain itu, adanya alokasi waktu antara keluarga dan pekerjaan yang dalam keluarga dual-earner juga membawa tantangan tersendiri dalam menjaga kesejahteraan keluarga. Karena, kerjasama dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga mempengaruhi kesejahteraan keluarga (Sultana. Hed, & Leh, 2013). Lalu, semakin tinggi tingkat kesejahteraan di dalam keluarga bisa disebabkan oleh semakin baiknya kerja sama yang dilakukan oleh suami dan istri dalam melakukan pengambilan keputusan (Kusumo, Sunarti, & Pranadji, 2008).         

Namun, bagaimana fenomena ini benar-benar terjadi di masyarakat? Melalui wawancara terhadap salah satu narasumber yaitu Ibu Suminah, ia memaparkan bahwa hal yang menjadi sumber stres dalam keluarganya adalah tekanan finansial, tuntutan pekerjaan yang tinggi, dan terkadang perbedaan pendapat dalam mengasuh anak. Dalam mengelola stres yang muncul dalam keluarga, Ibu Suminah memiliki manajemen waktu yang baik yaitu dengan mengatur waktu untuk pekerjaan dan keluarga. Ia memiliki waktu tersendiri untuk meresapi momen bersama dengan keluarga.

Selain itu, narasumber kedua yaitu Ibu Rodiah, memaparkan bahwa hal yang menjadi stres terbesar bagi keluarga adalah pertengkaran yang disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar keluarga satu sama lain. Cara yang dilakukan Ibu Rodiah untuk mengurangi stres adalah dengan cara libur bekerja dan mengurangi pekerjaan rumah tangga, misalnya di hari minggu ia meluangkan waktu dan mengisi waktu tersebut untuk bermain bersama anak-anak dan suaminya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline