Lihat ke Halaman Asli

Saya Memang Mendukung Jokowi-JK, tetapi....

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

....saya tahu kalau saya tidak selalu benar. Biasanya, para pengikut itu lebih fanatik dari pemimpinnya. Begitu pula dengan Pilpres yang baru kita lewati.

Dalam bahasa Inggris, kata hearing memiliki arti yang berbeda dengan listening. Hearing adalah kemampuan organ telinga untuk mendengar. Siapapun yang tidak mengalami gangguan pendengaran dapat melakukan hearing. Sedangkan listening adalah kemampuan yang dapat dipelajari dan dikembangkan. Listening is a skill, sebuah kemampuan mencerna apa yang kita dapatkan melalui hearing, hingga akhirnya menjadi sebuah informasi, yang kemudian kita gunakan untuk membuat keputusan.

Dari masa kampanye hingga saat ini setelah Pilpres berakhir, sangat banyak simpatisan kedua capres yang begitu menggebu-gebu dalam membela pilihan mereka hingga akhirnya sangat sulit untuk berdialog dan tukar pikiran secara objektif. Dari pembicaraan-pembicaraan antara kedua simpatisan capres, saya melihat mayoritas yang terjadi dalam pembicaraan mereka hanyalah hearing tanpa listening. Hal ini saya lihat dan alami baik pada pendukung Pak Prabowo maupun Pak Jokowi. Sekali lagi, biasanya pengikut itu lebih fanatik dari pemimpinnya.

Saya memang bukan ahli deduksi seperti yang digambarkan oleh tokoh fiktif Sherlock Holmes. Namun dalam setiap kesempatan saya selalu mencoba untuk menganalisa dan berpikir seobjektif mungkin. Berikut adalah hasil analisa saya mengenai kelanjutan kisah epik Pilpres 2014 ini.

Ada 3 kemungkinan mengapa Pak Prabowo begitu gigih dan pantang menyerah dalam menyatakan bahwa beliaulah yang memenangkan Pilpres 2014:

1. KPU dan/atau Pak Jokowi dan tim pendukungnya memang telah melakukan kecurangan. Sehingga pantaslah Pak Prabowo memerangi kebohongan ini agar rakyat tidak dibodohi.

2. Pak Prabowo diberikan informasi yang tidak akurat atau rekayasa oleh pihak pendukungnya, sehingga masih meyakini bahwa beliaulah yang memenangkan Pilpres ini.

3. Pak Prabowo sebenarnya mengetahui bahwa beliau sudah kalah, namun tidak bisa menerima kekalahan sehingga menjadi sangat desperate dan mencoba segala cara untuk membalikkan keadaan.

Mari kita analisa..

Jika yang benar adalah pernyataan nomor satu, maka saya sangat bersyukur dan berterima kasih atas perjuangan Pak Prabowo yang luar biasa dalam menegakkan kebenaran, dan setulus-tulusnya saya memohon maaf atas kealpaan saya selama ini.

Sebagai manusia normal yang memiliki sisi emosional, saya tentunya berharap hal ini tidaklah benar. Karena meskipun hanya sedikit, saya telah merelakan waktu, tenaga, dan pikiran saya untuk kemenangan Pak Jokowi-JK. Dan tidak ada manusia yang rela pengorbanannya sia-sia. Saya tidak ingin dikecewakan. Namun demikian, saya juga harus menganalisa dengan sisi rasional saya.

Secara rasional, saya melihat dan menganalisa dari data dan informasi yang tersedia. Dari masa kampanye hingga saat ini:

a. Tuduhan kepada Pak Prabowo mengenai isu HAM sampai saat ini masih belum terbukti secara hukum. Karenanya, secara objektif, tidak dapat saya gunakan sebagai alasan untuk tidak memilih beliau.

b.Tuduhan kepada Pak Jokowi seperti bagian dari Syiah, bukan muslim, PKI, Zionis, antek Amerika, Freemason, dan berbagai macam paham lainnya menurut saya sangat tidak masuk di akal, karena banyak dari paham-paham tersebut saling bertentangan. Maulana Syuhada juga mengutarakan opininya dengan sangat baik dan dapat saya cerna secara rasional.

c. Mengenai lembaga survey quick count, secara rasional dan objektif saya juga menganalisa. Berdasarkan rekam jejaknya, quick count merupakan metode yang cukup kredibel dalam memprediksi hasil pemilihan. Oleh karenanya, wajar jika dijadikan acuan sementara. Dari hasil lembaga-lembaga survei yang melakukan perhitungan, memang mayoritas menunjukkan bahwa Jokowi-JK yang unggul. Namun, ada beberapa lembaga survei yang memenangkan Prabowo-Hatta. Karenanya, agar tetap objektif, ada benarnya bahwa Pak Jokowi-JK tidak tergesa-gesa dalam mengumumkan pihaknya sebagai pemenang sementara berdasarkan hasil quick count.

Untuk tetap objektif, saya juga harus mempertimbangkan lembaga-lembaga yang memenangkan Pak Prabowo. Bagaimana caranya? Persis seperti yang Pak Fadli Zon minta, seluruh lembaga survey harus diaudit oleh Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi), yang kemudian memang dijalankan.

Setiap lembaga yang melakukan survey harus membuka data dan proses mereka. Jujur saja, secara scientific, perbedaan hasil keempat lembaga yang memenangkan Pak Prabowo memang cukup janggal, terutama Puskaptis yang begitu jauh perbedaannya. Ketika melihat situs mereka yang notabene hanyalah sebuah blog, dan rekam jejak mereka yang juga pernah bermalasah, dan kemudian Puskaptis menolak untuk diaudit bersama dengan lembaga-lembaga survey yang lain, akal saya yang Insya Allah masih cukup sehat ini mengatakan bahwa Puskaptis tidaklah kredibel.

d. Pihak PKS menyatakan telah memiliki hasil real count dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemilihan suara. Secara objektif, hal ini sangatlah tidak masuk di akal (paling tidak akal saya). Kemudian hasil real count versi PKS ini memang terbantahkan setelah diketahui bahwa hasil perhitungannya sama dengan hasil survei yang mereka lakukan 4 hari sebelum pemilihan tanggal 9 Juli.

e. Kita langsung maju ke hari pengumuman resmi KPU tanggal 22 Juli 2014. Beberapa jam sebelum KPU mengumumkan hasil akhir rekapitulasi nasionalnya, Pak Prabowo memutuskan untuk menolak hasil resmi KPU karena menurutnya telah terjadi kecurangan yang masif, terstruktur, dan sistemik.

Meskipun secara Undang-Undang proses rekapitulasi KPU dapat terus berjalan dan hasilnya masih tetap sah secara hukum, tudingan Pak Prabowo tersebut memang mungkin saja terjadi dan tidak boleh dimentahkan begitu saja. Oleh karenanya, sekali lagi secara objektif, tudingan tersebut perlu dibuktikan.

Pak Prabowo menggunakan kata-kata seperti masif, terstruktur, dan sistemik. Ini merupakan tudingan yang sangat serius. Namun, tudingan bahwa KPU DKI tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu untuk melakukan pemungutan suara ulang di 5.802 TPS di Jakarta sudah langsung terbantahkan hanya beberapa jam setelah pidato penolakan Pak Prabowo.

Jika kita melakukan listening dan bukan hanya hearing atas tudingan Pak Prabowo dan bantahan Bawaslu tersebut, sebenarnya tidaklah sulit untuk bertanya, mengapa setiap tudingan ataupun klaim dari pihak Pak Prabowo sangat sering terbantahkan atau tidak memiliki bukti yang jelas?

Terakhir (sampai saat tulisan ini saya buat), mengenai pemilikan bukti-bukti kecurangan yang dikatakan sebanyak 10 truk, yang kemudian dikatakan hilang, dan kemudian mengatakan Mantan Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo- Hatta Pak Mahfud MD adalah penyusup, dan kemudian dibantah oleh Pak Mahfud dengan mengatakan bahwa Pak Prabowo sendiri yang datang kepada beliau, bahwa bukan beliau yang menawarkan diri menjadi bagian dari timses Prabowo-Hatta. Dari runtutan kejadian yang saya tulis di atas saja, sisi rasional saya menyimpulkan bahwa sangatlah wajar untuk berpikir bahwa paling tidak, terdapat inkonsistensi yang konsisten atas pernyataan-pernyataan pihak Prabowo-Hatta selama ini.

Memang sampai saat ini proses pembuktian tersebutlah yang masih diperjuangkan oleh Pak Prabowo melalui gugatannya ke Mahkamah Konstitsi. Itu adalah hak konstitusional beliau, dan wajib kita hormati.

Namun secara objektif teman-temanku, jika anda adalah pendukung Pak Prabowo yang hingga saat ini masih mendukung beliau “tanpa syarat”, apakah kejadian-kejadian yang secara logis patut dipertanyakan tersebut tidak mengusik sisi rasional anda?

Dari 3 kemungkinan yang saya kemukakan di atas, saya tidak menemukan bukti-bukti (bukan tudingan) yang secara rasional dapat membuat saya berkesimpulan bahwa kemungkinan nomor satu-lah yang benar. Secara objektif, berdasarkan data, informasi, dan insiden-insiden yang telah terjadi hingga saat ini, justru kemungkinan nomor dua atau tiga-lah yang dapat diterima oleh sisi logis.

Mungkin anda tidak percaya, tapi jika saya menemukan kejadian-kejadian dan bukti-bukti (bukan tudingan) kecurangan pada Pak Jokowi-JK, saya pun akan mempertanyakan motif mereka. Karena saya memilih Pak Jokowi-JK bukan karena mereka berdua, dan bukan karena saya. Saya meyakini bahwasanya saya memilih Jokowi-JK karena Indonesia.

Karenanya teman-temanku, sekali lagi saya mengajak anda untuk bertanya mengenai pihak Prabowo-Hatta:

Apakah, setelah kejadian-kejadian janggal tersebut, "bukti-bukti yang tidak terbukti" tersebut, sisi rasional anda tidak terusik untuk lebih mempertanyakan motif mereka yang sampai saat ini secara tidak langsung mengatakan bahwa semua pihak (kecuali pihak mereka) adalah curang dan tidak adil?

Jika sama sekali tidak, maka izinkan saya untuk bertanya satu pertanyaan terkahir:

Apakah anda memilih Pak Prabowo karena Pak Prabowo, karena anda sendiri, atau karena Indonesia (bukan suku, agama, ras, atau golongan tertentu)?

Salam damai selalu untuk Indonesia kita tercinta.

Ali Zaenal Abidin

@InsightAli

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline