Lihat ke Halaman Asli

Hikmah Akulturasi Budaya Tionghoa dengan Budaya Pribumi

Diperbarui: 30 Januari 2017   03:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pepatah lama yang diikuti dari ajaran Islam dalam hadist Nabi yang menyebutkan “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”. Pertanyaan yang terbesit dalam benak kita adalah mengapa yang disebut hanya China, bukan ke Arab, atau negara Eropa atau lainnya? Jika kita mau jujur katakan sesuai fakta sejarah bahwa peradaban dan keberadaan masyarakat keturunan Tionghoa atau China di Indonesia telah banyak mewarnai dan mempengaruhi kebudayaan pribumi, dari situ kemudian terbesit suatu pertanyaan bagaimana dan seberapa besar pengaruh kebudayaan mereka. 

Dengan kedatangan dan keberadaan mereka, tentunya hal ini memberikan warna tersendiri pada kebudayaan pribumi. Hubungan baik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam pun sudah lama terjalin karena dalam ajaran Islam yang dikenal sebagai agama global, universal dan tidak pernah mengenal etnis atau perbedaan apapun.

Secara otomatis kita akan balik bertanya apa yang harus dipelajari di China yang merupakan negara komunis? Yang Jelas dan pasti tentunya bukan karena unsur agama, melainkan karena kebudayaan dan peradabannya yang sangat tua dan tinggi. Sudah sejak 3000 tahun (30 Abad) lebih sebelum kelahiran Islam, ilmu pengetahuan dan  teknologi bangsa China sudah demikian maju sehingga dikenal sampai ke Timur Tengah khususnya Arab. 

Mereka sudah menguasai ilmu astronomi bahkan mempunyai tempat-tempat observasi, mampu membuat ramuan untuk mengawetkan mayat sampai membuat bubuk mesiu atau obat bahan peledak. Pengenalan dan penguasaan ilmu astronomi oleh orang China membuktikan bahwa mereka pada zaman dahulu dengan mudah bisa mengembara sampai ke Timur Tengah. Terbukti dengan adanya jalur perdagangan sejak Islam mulai berkembang di Timur Tengah sekitar abad ke-7. Mereka memperkenalkan teknologi pembuatan kertas dan tinta serta ilmu cetak, dan ternyata hal ini menarik perhatian orang Arab.

Selanjutnya, bangsa Arab justru menyambut baik kedatangan bangsa China beserta ilmu-ilmu yang dibawanya, terutama terkait dengan ilmu cetak yang kebetulan mereka sangat membutuhkan teknologi pembuatan kertas dan tinta yang sangat berguna untuk menyatukan tulisan-tulisan Arab yang ditulis pada pelepah kurma, kulit sapi, dan kulit pohon, dimana media menulis semacam itu sangat mudah rusak, sukar dibaca, dan sukar didapat. Kedatangan bangsa China tersebut telah membawa berkah bagi bangsa Arab karena berguna untuk menyatukan ayat-ayat Suci Al Qur’an yang diturunkan Allah yang semula juga dicatat bertebaran di pelepah kurma, kulit unta dan lain-lain.

Sebaliknya orang-orang China kembali ke negerinya dengan membawa “oleh-oleh” ajaran Islam. Kemudian, ajaran Islam tersebut kemudian disebarluaskan pada masyarakat China yang sudah  ditulis di atas kertas dengan tinta serta dicetak dalam jumlah yang banyak. Dapat disimpulkan bahwa bangsa China termasuk yang telah mempelopori penyebaran ajaran Islam keluar dari wilayah Timur Tengah dan menyebarkannya ke  wilayah Asia lainnya, termasuk nantinya ke wilayah Indonesia yang ada di wilayah China bagian selatan. 

Tidak hanya bangsa Arab saja yang mendapat berkah dari kedatangan bangsa China ke Indonesia yang awalnya hanya berniat untuk berdagang, namun seperti ketika mereka ke Arab, orang-orang China yang datang ke Indonesia juga membawa kebudayaan dan ilmu pengetahuan berupa teknologi pembuatan kertas dan tinta serta ilmu cetak-mencetak, dan yang terpenting justru ajaran Islam yang baru mereka peroleh dari Arab. Hal ini merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri oleh umat Islam di Indonesia, sehingga ajaran Islam mulai dikenal di Nusantara, yaitu di Banten dan Cirebon.

Apabila kita merujuk pada sejarah hubungan antara Kesultanaan Banten dengan bangsa China pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak perahu China yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu China yang rata-rata berukuran 300 Ton. Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu China membawa barang dagangan bernilai 300.000 Real dengan menggunakan 6 buah perahu.

 Selain sebagai pedagang orang-orang China datang ke Banten sebagai imigran, dimana intensitas kehadiran para pedagang China cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten yang diiringi pula dengan kehadiran imigran yang berfrekuensi cukup tinggi. Adanya penemuan mata uang China yang ditemukan de Houtman di Banten merupakan bukti sejarah bahwa saat itu mulai terlihat adanya peran serta bangsa China pada perdagangan sekitar wilayah tersebut. Mata uang China tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat menggunakan huruf Manchu, diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60 cm.

Pengaruh budaya Tionghoa yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari diantarnya adalah makanan jenis tahu, tempe, bakso, bakwan, bakpao, bakpia, lontong cap go meh, munculnya bedug Alat penanda azan itu ternyata berasal dari Tiongkok justeru bukan dari bangsa Arab karena sampai sekarang pun, tidak pernah ada bedug di Arab sebagai penanda adzan. Lalu budaya membakar petasan menjelang Ramadhan dan menjelang Idul Fitri yang asalnya dari Tiongkok. Budaya-budaya inilah yang sekarang sudah membaur atau berakulturasi dengan budaya lokal.  Selain itu, budaya-budaya Tionghoa juga masuk dalam arsitektur seluruh masjid di sana berarsitektur Tiongkok. Hal itu sangat berbeda dengan arsitektur masjid di Indonesia. Pembauran budaya China dengan kebudayaan penduduk asli juga dapat dilihat dari beberapa kesenian suku Betawi seperti Musik Tanjidor, kesenian cokek, lenong dan lain-lain yang merupakan akulturasi budaya China dan Betawi, yang kini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi.

Dengan adanya pengesahan UU RI No.12 tahun 2006 (yang menggantikan UU No. 62 tahun 1958) serta dihapusnya kewajiban orang Tionghoa di Indonesia untuk memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) melalui keputusan presiden No. 56 tahun 1996, memperkuat kedudukan suku Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, seperti semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda namun tetap satu. Menjelang hadir perayaan Imlek di Indonesia, momentum seperti ini sangat tepat bagi masyarakat etnis Tionghoa untuk menghilangkan rasa perbedaan, gap, sekat dan diskriminasi ras demi negeri kita yang tercinta. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline