Beberapa waktu lalu ketika sedang asyik scrolling, mampirlah sebuah video di layar HP saya. Video tersebut merekam tentang seorang pejalan kaki yang marah-marah ke seorang pengendara motor yang menggunakan trotoar. Teman-teman tentu paham fungsi daripada trotoar, bukan? Ya, trotoar adalah jalan khusus untuk orang-orang yang bepergian dengan berjalan kaki. Bukan yang mengendarai motor apalagi mobil.
Apa yang dilakukan oleh pejalan kaki itu tidak salah. Karena memang si pengendara motor ini melakukan kesalahan dengan sempat memarkir motor dan mengendarai motornya di trotoar yang saat itu sedang padat oleh para pedestrian (pejalan kaki). Tetapi sepertinya teman-teman bisa menebak bagaimana respon si pengendara motor ini. Ya, si pengendara motor justru terlihat kesal dan pergi dengan memacu motornya di trotoar bahkan sengaja benar menggeber ke arah pedestrian yang tadi menegurnya dengan emosi.
Kasus lain yang serupa ialah saat pemilik mobil memarkir mobilnya di jalan sempit atau gang. Lagi-lagi mampir sebuah video yang menunjukkan seorang pengendara mobil yang hendak melewati sebuah gang, tetapi tidak bisa karena ada mobil yang diparkir di gang tersebut. Tepatnya, mobil tersebut diparkir di depan sebuah rumah di dalam gang. Di dalam video, si pengendara yang masih di dalam mobilnya itu sedang menegur seorang bapak yang sepertinya pemilik mobil yang diparkir di gang.
Si bapak ini terlihat marah-marah dan justru menyuruh si pengendara untuk putar balik saja. Cari jalan lain. Tidak ditampilkan bagaimana ujung drama mobil diparkir di gang itu. Apakah akhirnya si pengendara mobil mengalah saja dan putar balik melewati jalan lain atau si bapak yang akhirnya mengaku salah dan bersedia memindahkan mobilnya ke tempat lain.
Yang salah yang marah
Nah, dari kedua kasus tersebut tentu kita bisa melihat ada kemiripan: yang salah yang marah. Ketika seseorang yang melakukan kesalahan itu ditegur oleh orang lain, ia justru seperti tidak terima dan tidak mau disalahkan. Di luar sana, saya yakin teman-teman sering menemui kejadian serupa atau bahkan memiliki pengalaman pribadi soal tegur-menegur yang dibalas amarah ini.
Sejujurnya, ini juga yang merupakan pengalaman pribadi saya. Tetapi yang harus diketahui, justru saya yang berada di posisi: yang salah yang marah. Meskipun sebenarnya saya tidak langsung marah-marah ke orang yang menegur saya. Melainkan saya meluapkan emosi amarah saya kepada suami tercinta -yang alhamdulilah sabar menampung emosi saya-.
Secara garis besar, saya melakukan sebuah kesalahan karena kealpaan dan sebenarnya kalau ditinjau secara dampak tidak begitu besar. Itu terjadi di sebuah grup chat. Tetapi ada seseorang yang chat ke saya dengan maksud mengingatkan kalau yang saya lakukan itu sepanjang pemahamannya, tidak bisa dibenarkan.
Berhubungan orang tersebut bukanlah orang yang berwenang, saya menampung dulu protesnya dan mengonfirmasi bahwa saya akan menanyakan ke pihak yang berwenang. Setelah saya tanyakan, ternyata saya memang salah. Baiklah, chat di grup akhirnya saya tarik dan saya mengklarifikasi kesalahan saya tersebut di grup itu saat itu juga. Sekalian menyelipkan ungkapan terima kasih kepada orang yang sudah japri saya. Karena kasus saya ini berkaitan dengan nilai dan harga sebuah kejujuran.
Semula saya tersinggung sehingga melampiaskan emsoi amarah kepada suami. Beruntung, suami saya termasuk sabar. Soal nilai dan harga sebuah kejujuran, ia hanya berpesan pendek, "Pertahankan, tidak banyak orang yang bisa seperti itu (mempertahankan kejujuran)." Cesss... Bagai ada embun yang nyiprat ke hati saya yang sedang membara. Saya pun terdiam. Diam untuk meredakan emosi dan diam untuk meresapi kalimat suami.