Lihat ke Halaman Asli

Seniman Jalanan Menggapai Mimpi

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Siapa suruh datang Jakarta?", syair tersebut seringkali mengingatkan kita akan kerasnya kehidupan di Jakarta dan sekitarnya. Untuk bertahan hidup di Jabodetabek, seseorang harus memiliki keahlian. Tidak hanya kemampuan dan ketrampilan diri, tetapi juga keahlian dalam membangun relasi bisnis. Bagi mereka yang gagal bersaing, maka kerasnya hidup di ibukota akan membuatnya semakin menderita. Namun, Jakarta tetap menjadi primadona bagi mereka yang ingin mengubah nasib. Jakarta memang menjanjikan segala potensi kesuksesan, meski terkadang itu hanya impian yang semu.

Di antara mereka yang bersaing meraih penghasilan dan puncak kesuksesan, profesi sebagai pengamen atau seniman jalanan seringkali dipandang sebelah mata. Predikat pemalas seringkali disandangkan di pundak para pengamen tersebut. Mereka dianggap sebagai segolongan manusia yang gagal dalam meraih masa depan yang cerah. Bahkan, sebagian masyarakat mengganggap mereka sebagai ‘sampah' yang mengganggu ketrentraman dan kenyamanan hidup bermasyarakat.

Sebagian pengamen, khususnya yang beroperasi di jalanan, seringkali terjebak dalam ‘lingkaran setan' perjudian, minuman keras, narkoba dan seks bebas. Tetapi merupakan perbuatan yang tidak adil, jika kita mengganggap semua pengamen dengan pandangan negatif. Yakinlah, di antara pengamen tersebut ada ‘mutiara-mutiara kehidupan' yang tersembunyi. Bahkan di antara mereka ada pengamen yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi relawan kesehatan. Relawan yang tanpa pamrih membantu dan memperjuangkan hak-hak kaum dhuafa, masyarakat tak mampu, dan orang terlantar dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Zahrulloh (30) tergolong memiliki jiwa sosial yang tinggi. Di tengah keterbatasan hidupnya, dia selalu berusaha membantu masyarakat sekitar, khususnya kaum dhuafa dan orang terlantar, dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Jarul (nama panggilan Zahrulloh, red) berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sejak remaja dia telah merasakan kerasnya hidup di jalanan. Dia sempat bekerja di restoran dan kepala cabang toko elektronik. Namun sejak di-PHK, sekitar enam tahun yang lalu, dia kembali menekuni profesi sebagai pengamen jalanan.

Jarul mulai tertarik untuk memperdalami dunia advokasi kesehatan sejak akhir tahun 2005. Keputusannya menjadi relawan kesehatan dilatarbelakangi oleh keprihatinannya atas nasib malang masyarakat miskin. Di negeri ini biaya layanan kesehatan semakin mahal, sehingga terkesan ‘orang miskin dilarang sakit'.

Awalnya dia bergabung dengan Lembaga Kesehatan Keluarga Miskin (LKKM) untuk mempelajari advokasi kesehatan. Sejak tahun 2006, dia pun bergabung di organisasi pemuda Sebumi (Serikat Budaya Masyarakat Indonesia). Dia sering menjadi relawan kesehatan bagi masyarakat tak mampu, kaum dhuafa dan orang telantar di daerah Jakarta, kota Tangerang dan Tangerang Selatan.

Suatu ketika Jarul membantu pasien penderita TBC tulang untuk berobat di sebuah rumah sakit swasta di Tangerang. Saat itu sang pasien hendak melakukan operasi. Tapi pihak rumah sakit mempersulitnya dalam mendapatkan kamar perawatan. Tapi, alhamdulillah, dengan advokasi yang diberikan oleh Jarul, pasien pun bisa mendapatkan hak-haknya untuk memperoleh layanan kesehatan. Kini pasien tersebut sudah dioperasi dan kondisi kesehatannya semakin membaik.

Telah banyak orang tak mampu, bahkan orang terlantar, yang dibantu Jarul untuk mendapatkan layanan kesehatan. Dia rela membantu mereka tanpa pamrih. Meski hidup dengan penuh kesederhanaan, Jarul akan siap sedia membantu mereka yang membutuhkan, tanpa imbalan sepeser pun. Bahkan Jarul punya harapan supaya rekan-rekannya sesama pengamen jalanan dapat mengubah suratan takdir mereka. Meraih sukses dengan segala keterbatasan yang ada.

Salah satu rekan Jarul yang kini sedang berusaha mengubah nasib hidupnya adalah Taufik Hidayat (27). Dia menjadi pengamen sejak tahun 2004. Lulusan SMEA, jurusan Akuntansi ini terpaksa berprofesi sebagai pengamen sejak berhenti kerja. Padahal saat itu dia masih memiliki hutang ke renterir. Di tengah kebingungannya, suatu hari dia menginap di rumah saudaranya, yang kebetulan menjadi pengamen. Saat itu, Opick (nama panggilan Taufik Hidayat, red) sekedar iseng mengikuti saudaranya mengamen. Setelah merasakan ‘penghasilan dari jerih-payah mengamen' dia pun berprofesi sebagai seniman jalanan.

Dari hasil mengamen tersebut, Opick dapat membantu orang tuanya dalam mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Dia secara bertahap juga bisa melunasi hutangnya. Bahkan, kini Opick bisa kredit motor dengan angsuran Rp. 400.000,- setiap bulan. Namun, dia tak ingin selamanya menjadi pengamen. Opick masih ingin melanjutkan pendidikannya. Dia ingin kuliah untuk memperdalami ilmu ekonomi. Kelak ketika punya modal, Opick ingin membuka usaha di bidang kuliner dan restoran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline