Lihat ke Halaman Asli

FATSOEN : Quo Vadis Kebijakan Pemerintah Tentang Penambangan di Kawasan Hutan Lindung terhadap Kerusakan Lingkungan

Diperbarui: 17 November 2015   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang

Sumberdaya alam (SDA) merupakan sumberdaya yang paling esensial bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Sumberdaya alam tidak hanya menyediakan sesuatu yang diperoleh dari lingkungan fisik untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa (wealth of nation) (Fauzi, 2006). Hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya alam akan berdampak besar bagi kelangsungan hidup manusia, untuk itu sumberdaya alam wajib dikelola secara hati dan bijaksana sehingga pemanfaatannya dapat berlangsung secara lestari, seimbang, selaras dan serasi. 

Indonesia yang terdiri dari ± 17.508 pulau memiliki potensi sumberdaya alam (SDA) baik hayati maupun non hayati yang melimpah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Hal ini terjadi karena keadaan alam Indonesia yang berbeda dari satu pulau kepulau lainnya, bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumber daya hayati dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem, yang masing-masing menampilkan kekhususan pula dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat didalamnya. Sumber daya hayati yang paling banyak dieksploitasi pemanfaatannya adalah sumber daya yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan yang terletak di dataran rendah . Dari segi ekonomi memang ekosistem hutan semacam inilah yang dapat mendatangkan keuntungan terbesar karena mengandung kekayaan paling tinggi yang disebabkan oleh adanya keanekaragaman hayati yang terbesar. Lagipula bagian terbesar hutan-hutan Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropik yang terletak di dataran rendah itu. Didalam hutan semacam ini tumbuh berbagai jenis kayu yang bernilai ekonomis tinggi.

Di mata dunia internasional, hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia dan dianggap signifikan mempengaruhi iklim dunia. Selain itu, sebagai sumber keragaman hayati dunia hutan Indonesia telah menjadi perhatian untuk dipertahankan keberadaan dan tingkat mega biodiversity, yang memiliki 10 % tumbuhan berbunga di dunia, 17 % spesies burung , 12 % satwa mamalia, 16 % satwa reptilia, dan 16 % spesies amphibia, dari populasi dunia. Oleh karena itu, pengelolaan hutan Indonesia perlu dilakukan secara profesional dan terencana sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa mengurangi kemampuan hutannya untuk menghasilkan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat lokal, nasional, maupun regional, bahkan internasional. Pengelolaan hutan yang profesional dan terencana dibutuhkan, terutama untuk daerah yang rentan terhadap terjadinya degradasi lahan dan lingkungan.

 

Isu dan Permasalahan 

Selama 3 dekade sektor kehutanan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi bangsa, dan telah memeberikan dampak positif, seperti penyerapan tenaga kerja, perolehan devisa, dan pengembangan wilayah. Pengelolaan hutan di masa lalu banyak kekurangan. Dinamika pembangunan masa lalu telah menyebabkan pemanfaatan hasil hutan, terutama kayu, yang berlebihan terbukti oleh kapasitas industri nasional yang melebihi kemampuan pasok kayu lestari (Mentri Energi dan Sumberdaya Mineral, 2011). Kekecewaan terhadap sistem pengusahaan hutan telah menimbulkan berbagai permasalahaan di beberapa daerah yang berdampak terhadap degredasi hutan. Selama periode 2000-2009, laju deforestasi diperkirakan sebesar 15,15 juta ha, dan deforestasi tersebasar terjadi di Kalimantan yaitu sekitar 5,5 juta ha atau 36,3 %. Kerusakan tersebut, disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, penebangan liar, perambahan hutan, dan pembukaan hutan skala besar serta kebakaran hutan. Dampak dari kerusakan tersebut mengakibatkan berbagai bencana ekologi seperti banjir yang sepanjang tahun 2000-2007 terjadi sedikitnya 392 bencana banjir, belum lagi longsor, dan secara umum berdampak pada terjadinya climate change. Ada 2 (dua) hal yang bisa dikatakan sebagai penyebab utama dari kerusakan hutan. Yang pertama adalah adanya hak penguasaan hutan yang kita ketahui tidak lagi berjalan secara prosedural. Dalam artian instasi- instasi yang mendapat hak penguasaan hutan atau HPH tidak lagi mematuhi peraturan dalam pengelolaan hutan mereka.

 

Sedangkan yang kedua adalah penambangan-penambangan di kawasan hutan lindung yang sampai saat ini mengalami kontroversi karena banyak investor yang sudah terlanjur menanamkan investasi mereka untuk penambangan sedangkan di Indonesia sendiri baru saja dikeluarkan UU No 41/1999 yang melarang adanya penambangan didaerah konservasi. Permasalahan pengusahaan pertambangan di hutan menjadi pelik karena ada kontrak-kontrak pertambangan yang telah dilakukan sebelum UU Nomor 41/1999 diberlakukan. Setelah UU itu berlaku, ternyata Departemen Kehutanan menetapkan bahwa lokasi pertambangan tersebut berada di dalam kawasan konservasi. Pemerintah membentuk dua tim untuk menyelesaikan masalah pertambangan yang diakibatkan oleh undang-undang No. 41/1999, di mana pertambangan terbuka tidak diperbolehkan di kawasan hutan lindung dan konservasi. Tujuannnya untuk mencari titik penyelesaian dari masalah tumpang tindih ini. Terutama difokuskan pada kontrak-kontrak pertambangan dan energi yang ditandatangani sebelum UU No. 41 /1999 tersebut.

 

Kebijakan Eksisting

Pemerintah melalui Menteri Kehutanan Zukifli Hasan mengeluarkan kebijakan penebangan hutan alam primer dan hutan gambut tidak boleh dilakukan lagi seiring upaya yang dilakukan Kemenhut untuk memulihkan kondisi hutan Indonesia. Sementara itu masalah perizinan hutan lindung yang digunakan sebagai wilayah pertambangan terbuka tidak akan dilakukan lagi (Media Indonesia, 11 Februari 2012).

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004, Tentang Perizinan Atau Perjanjian Di Bidang Pertambangan Yang Berada Di Kawasan Hutan Menetapkan 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini, untuk melanjutkan kegiatannya di kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Daftar perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan Yang berada di kawasan hutan yang telah ditandatangani Sebelum berlakunya undang-undang nomor 41 tahun 1999 Tentang kehutanan yang dapat melanjutkan kegiatannya Sampai berakhirnya perizinan atau perjanjiannya, perusahaan tersebut adalah :

1. Freeport Indonesia Comp. Produksi Tembaga, Emas, di Papua Mimika seluas 10.000 hektar dan di Paniai, Jaya Wijaya, Puncak Jaya seluas 202.950 Hektar

2. Karimun Granit di Karimun, Kepulauan Riau seluas 2.761 hektar

3. INCO Tbk. Nikel Produksi Sulsel, Sulteng, Sultra Luwu Utara, Kolaka, Kendari, Morowali seluas 218.528 hektar;

4. Indominco Mandiri Batubara, di Kota Bontang, Kutai Timur, Kaltim seluas 25.121 hektar

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline