Jika kita brbicara mengenai dunia politik, tentu yang ada di benak kita adalah kekuasaan, jabatan, kompetisi & segala macam intrik & lobi-lobi yang mewarnai politik itu sendiri. Banyak masyarakat kita berbicara subjektif bahwa politik itu kotor, banyak fitnah sana sini, saling sikut antara pemain yang bermuara tentu perebutan kekuasaan. Tentu hal tersebut tak terbantahkan, mengingat di media cetak maupun elektronik di Negara kita selalu ada saja berita mengenai itu setiap hari bahkan setiap jamnya. Di sini penulis ingin mengangkat fenomena pemain dari dunia politik itu sendiri, yaitu politisi yang bahkan kemunculanya di TV dewasa ini mengalahkan artis sinetron.
Pemilu legislatif kurang dari setahun lagi berlangsung, yaitu tanggal 9 april 2013. Pemilihan untuk anggota DPR RI, DPRD Provinsi & DPRD Kota/Kabupaten ini akan di ikuti oleh ribuan kader partai politik dari seluruh Indonesia untuk memperebutkan kursi yang mereka incar. Untuk kuota DPR pusat sendiri adalah 560 kursi dari berbagai dapil (daerah pemilihan) di Indonesia. Untuk setiap dapil yang biasanya terdiri dari 3 atau 4 kota/kabupaten, akan terpilih rata rata 10 0rang legislator yang berhak melenggang ke senayan. Jika di kalkulasi misal per dapil itu di ikuti oleh 150 caleg, maka presentase untuk keterpilihan seorang caleg adalah kurang lebih 6,7%. Tentu bukan angka yang besar, mengingat biaya politik (cost price) dari masing masing caleg yang begitu besar.
Maka menyiasati fakta tersebut, biasanya partai politik pasti menempatkan vote getter (pendulang suara) pada setiap dapil untuk menggolkan jagoan mereka. Contoh partai demokrat yang menempatkan anak presiden RI Ibas Yudhoyono untuk meraih suara terbanyak di dapil pacitan, jawa timur kota kelahiran SBY. Juga ada muhaimin iskandar, jero wacik & masih banyak lagi yang di tempatkan untuk jadi lumbung suara bagi partainya.
Tentu hal tersebut di perbolehkan di tatanan politik di negeri kita, tapi bukan itu yang jadi perhatian serius penulis akhir2 ini. Penulis ingin mengangkat sisi lain politisi itu sendiri, Pertama penulis menyoroti politisi yang lebih mengedepankan bicara daripada kinerja. Politisi yang masuk kategori tersebut di antaranya ruhut sitompul, fachri hamzah, sutan batoegana, dan masih banyak lagi tentu pembaca tahu politisi mana yang masuk kategori ini, yang bahkan mungkin kemunculanya di media melebihi absensi mereka di tempat kerjanya.
Kedua penulis ingin menyoroti politisi yang tersangkut kasus dugaan korupsi dan kasus pidana lainya. Akhir akhir ini ingatan kita pasti hangat akan kasus suap impor daging yang melibatkan politisi luthfi Hassan ishaq. Anggota DPR yang juga presiden PKS ini bersama koleganya ahmad fathanah di tangkap tangan oleh KPK dan kasusnya sampai saat ini masih berlangsung bahkan yang terbaru dari saksi persidangan ridwan hakim menyeret nama presiden SBY yang merupakan kolega dari pengusaha bernama Sengman. Tentu banyak kasus lain dari politisi kita, dari korupsi, menonton video porno di ruang kerja sampai menjadi artis di video porno juga ada.
Terakhir penulis beropini bahwa tingkah laku negatif politisi tersebut salah satunya terjadi akibat sistem penjaringan untuk terpilih menjadi legislator yang keliru. High price, money politics & mengganggap politik itu bisa di beli yang membuat produk dari politisi tersebut amburadul. Lalu berkorelasi banyak rancangan undang undang yang masih terbengkalai, plesiran yang berwujud studi banding yang jelas2 menghamburkan uang rakyat. kita masyarakat tidak butuh penjelasan normatif, kita hanya butuh implementasi kinerja yang jelas. Kita masyarakat butuh legislatif yang bisa mengawasi eksekutif secara tangguh,objektif & merakyat, bukan legislatif yang sering memainkan politik transaksional. Mari kita buka mata hati kita untuk memilih wakil kita yang kita rasa cakap tahun depan. Jangan hanya memilih politisi yang memberi uang dan janji surga tapi kita bertaruh untuk masa depan Negara ini. Karena pada dasarnya sistem politik itu sendiri itu baik tapi di salah gunakan oleh pemainnya & pada dasarnya wakil rakyat jauh berada di bawah level rakyat itu sendiri.
Jadi, bagi mereka yang berminat untuk menjadi politisi penulis menyarankan untuk mempunyai 3 bekal fundamental : ilmu, finansial & agama agar tidak menjadi politisi yang terjebak akan nikmatnya prestise, kemewahan, politik balik modal dan serangan yang di pasti di alami di dunia politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H