"Dari Ateisme hingga Sains dan Agama Saling Melengkapi"
Pada awal abad kesembilan belas, ateisme benar-benar telah menjadi agenda. Kemajuan sains dan teknologi melahirkan semangat otonomi independensi baru yang mendorong sebagian orang untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.
Inilah abad ketika Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, dkk, menyusun tafsiran filosofis dan ilmiah tentang realitas tanpa menyisakan tempat buat Tuhan. Bejibun ideologi yang menolak gagasan tentang agama dan Tuhan, bahkan secara implisit atau eksplisit mengaku bahwa akal lebih mulia dari kitab suci.
Sebagaimana Kets dalam ungkapannya, ketika hati terbuka selalu waspada dan merefleksikan semua tindak tanduk. Kebijaksanaan akan muncul dari pengalaman-pengalaman yang subjektif, tetapi pengalaman ini harus bijak dan tidak didasari pada hawa nafsu yang bodoh dan kotor.
Kets juga mengafirmasi dalam ungkapan lain bahwa, "Kebenaran tidak akan menjadi benar sebelum dirasakan oleh urat nadi dan dihidupkan oleh gairah hati." Semua kebijaksanaan, moralitas, bahkan etika yang dilematis tercantum dalam kitab suci dan menjadi pondasi penting bagi kemajuan sosial, sains, dan peradaban bagi umat manusia.
Agama bagi orang-orang ateis dianggap sebuah belenggu. Karl Marx (1818-1883) misalnya, memandang agama sebagai "Rintihan derita manusia yang terkena candu sehingga tidak mau beranjak dari penindasan."
Jelasnya, agama menjadikan manusia terlalu menggantungkan kepada Tuhan. Akibatnya, apa-apa yang diterimanya termasuk penderitaan, harus disyukuri. Sebaliknya, jika tidak mensyukuri dan melakukan pemberontakan atau perubahan di klaim tidak mengamalkan ajaran agama. Inilah yang seiring disebut paham fatalisme.
Demikian pula pemahaman harfiah tentang Tuhan (agama) dan kitab suci membuat keyakinan banyak pemeluk agama rentan terhadap penemuan ilmiah di masa itu. Contohnya Principles of Geology (1830) karya Charles Lyell yang mengatakan perspektif tentang waktu dan geologi. Atau karya Charles Darwin yang bertajuk The Origin of Spesies (1859) yang mengungkapkan berbagai hipotesis ilmiah perihal evolusi dianggap salah karena bertentangan dengan Bibel.
Pun dengan penemuan Girodano Bruno yang menegaskan bahwa bintang hanyalah matahari yang dikelilingi oleh exoplanet, berbeda dengan Bibel yang memercayai geosentris, alhasil, dengan mudah Bruno langsung dianggap sesat oleh institusi Gereja dan dijebloskan ke penjara yang lalu divonis dengan bakar hidup-hidup.
Tirani agama terhadap sains seperti di atas kemudian berlanjut ke era setelahnya. Tepatnya di abad pertengahan, sudah mulai menjamur pemahaman bahwa agama hanya membelenggu pengetahuan. Agama menjadi penghalang terhadap kemajuan peradaban manusia.
Oleh sebab itu, revolusi ilmu pengetahuan di era renaisans benar-benar telah melepaskan agama. Manusia tidak lagi butuh dengan ajaran Tuhan dan lebih memilih kerasionalan dari akal. Di titik ini, ateisme tumbuh subur seiring mekarnya ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai agama. Sebut saja seperti Rene Descartes, Jhon Locke, atau Martin Hedger. Filsuf-filsuf ateis itu merupakan produk di era pencerahan.