Lihat ke Halaman Asli

Hafid Algristian

Psikiater. Temen ngobrol.

Haruskah Kita Menghindari "Toxic Person"?

Diperbarui: 20 Desember 2018   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: www.nuffieldhealth.com

Sebuah polling twitter digagas oleh adik kelas saya @CallMeHilmy tentang sikap Millennials terhadap teman-temannya yang toxic. Teman yang toxic disebutnya sebagai teman yang "membicarakanmu di belakang diam-diam, menjulingkan mata bila kami bicara, atau "mlengos". Persoalan yang diangkat dalam polling tersebut, "Jika di dalam circle kalian mempunyai teman yang toxic, untuk berdamai dengan diri sendiri, apa yang kalian lakukan?"

Sebanyak 88% responden menjawab "Jauhi", dan sisanya memilih "Dekati". Benarkah menjauhi adalah sikap yang tepat untuk membuat diri kita berdamai terhadap toxic person tersebut?

Sabrina Michele Maxwell menyebutkan dalam disertasinya bahwa toxic behavior ditandai oleh perilaku "menyebalkan" yang cenderung memancing konflik antar pihak. Maxwell menjajarkan toxic behavior dengan 3 ciri kepribadian patologis yang biasa disebut "karakter gelap" atau dark triad, yakni narsisisme, psikopatik, dan machiavellianisme.

Narsisisme dalam hal ini adalah sosok yang angkuh, senang membanggakan diri, mudah akrab dan senang berkelakar, di saat yang sama, ia rapuh dan sensitif. Kata orang Jawa, sindrom SBC, alias "senggol bacok". Ia mudah tersinggung dan agresif.

Psikopatik adalah sosok yang tidak punya belas kasihan kepada orang lain, brutal dan provokatif. Ia jarang menimbang konsekuensi etika akan perilakunya, dan cenderung mengambil tindakan beresiko tinggi (risk taking behavior).

Sementara machiavellianisme sering diidentikkan dengan sosok yang "licin" seperti ular, menjilat ke mana-mana, jago "ngelobby" demi keuntungan diri sendiri. Ia terkesan pandai, namun banyak kecurangan-kecurangan dalam organisasi (corporate fraud) disebabkan orang-orang seperti ini.

Artikel yang ditulis Adrian Furham dkk menyebutkan bahwa tak jarang toxic person memiliki lebih dari satu karakter. Tiga karakter tersebut bercampur dengan kadarnya masing-masing. Jika membaca kembali deskripsi @CallMeHilmy dalam polling-nya, maka toxic person yang ia maksud kemungkinan didominasi oleh karakter machiavellianism.

Sayangnya, jika dalam kadar yang cukup (atau sengaja tampak cukup), karakter-karakter ini justru membuat mereka sukses dalam pekerjaan. Klaus J. Templer dalam artikelnya menyebutkan adanya "indirect chain" antara "karakter gelap" itu dengan peningkatan karir.

Mereka dengan "karakter gelap" justru memiliki kemampuan politik yang alami. Kemampuan politik inilah yang membuat mereka tampak cemerlang di tempat kerja padahal prestasinya biasa-biasa saja. Orang lain bisa hilang obyektivitasnya gara-gara mereka.

Mempertimbangkan beberapa hal di atas, maka mendiamkan atau menjauhi justru merugikan diri kita sendiri. Memang sih, hidup kita damai. Tapi, apakah kedamaian itu selamanya? Cepat atau lambat, trik-trik muslihat mereka pasti berdampak pada karir dan kehidupan kita.

Mendiamkan dan menjauhi justru memberikan angin segar bagi mereka, karena kita cenderung membiarkan mereka melakukan apapun yang mereka mau. Satu-satunya jalan ya, fight back. Lawan dengan cara yang elegan, dan jangan ikut-ikutan terprovokasi. Malah reputasi kita yang jatuh karena terpancing emosi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline