Lihat ke Halaman Asli

Anakku, JadilahHamba-Nya yang Sukses!

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih ingatkah Anda akan cita-cita masa kecil dulu? INgatkah kita, ketika masih duduk di bangku taman kanak-kanak, kemudian guru-guru kita yang baik meminta kita untuk maju satu persatu dan bercerita tentang hal terbaik yang menjadi cita-cita ketika dewasa kelak? Anda mungkin satu dari jutaan anak kecil yang bercita-cita menjadi pilot, atau mungkin juga satu dari ribuan anak kecil yang begitu kagum dengan guru mereka hingga ingin menjadi guru di kemudian hari.

Anda mungkin satu dari jutaan anak kecil yang ingin menjadi dokter, menteri, bahkan presiden ketika kecil dulu hingga ketika dewasa, masing-masing dari Anda menyadari betapa berat cita-cita itu dan kemudian harus menerima kenyataan bahwa Anda hari ini bukan seperti yang pernah ada dalam cita-cita dulu. Ada beragam kendala yang Anda hadapi, dari mulai skill bahasa asing yang kurang, skill penunjang yang tidak beragam, hingga kepribadian yang kurang “pas” yang menurut para personil HRD perlu untuk diupgrade.

Beragam kendala itu memunculkan sebuah penyesalan pada diri Anda. Mengapa dulu, ketika kecil Anda tidak mengikuti berbagai kursus sebagai bekal menyiapkan diri menjadi seseorang yang ada dalam cita-cita itu. Dalam pemikiran Anda, kegagalan tersebut disebabkan oleh ketidaksiapan diri dalam memenuhi “syarat” yang dibutuhkan untuk menjadi seseorang itu, entah itu seorang dokter, seorang insinyur, seorang pejabat, atau yang lain. Sebagian dari Anda bahkan menjalani kehidupan dalam penyesalan akan kegagalan mencapai cita-cita itu dan ujung-ujungnya, mereka “balas dendam” dengan mencoba menjadikan putra putri mereka menjadi “seseorang” yang pernah mereka inginkan.

Mungkin ANDA salah satu dari mereka!

Mari kita coba lihat di sekitar kita. Ketika para orangtua berkumpul, entah dalam ajang apapun, pasti akan ada obrolan tentang anak. Tentu, hal wajar ketika ada pertanyaan tentang prestasi anak kita dan sebagai orangtua, akan sangat bangga ketika kita bisa menyatakan bahwa anak kita memiliki sebuah prestasi yang hebat dan diakui oleh orang lain. Secara implisit, atau bahkan explisit, kita sudah ikut bangga bahkan mulai “GR” sebagai orangtua yang sukses.

Hingga kemudian, fatalnya, kita akan lebih keras lagi “memaksa” anak-anak kita untuk menjadi seseorang yang mungkin tidak pernah mereka inginkan. Kita, secara sistematis membujuk, cenderung mencuci otak anak-anak kita sendiri dengan berbagai analisis yang menurut kita logis hingga seolah, dengan menjadi “seseorang” itu, anak-anak akan memiliki jaminan masa depan yang sangat pasti!

Mari kita kembali kaji, adakah Anda, atau mungkin saya adalah salah satu dari orangtua dengan sikap mental seperti itu?

Kita sibuk mempersiapkan anak-anak kita menjadi “seseorang” dimasa depan. Beragam kursus kita bayar dengan biaya jutaan, mulai dari pelajaran tambahan, hingga kursus robot, kursus biola, kursus piano, atau kursus lukis. Semua itu demi mempersiapkan anak kita untuk menjadi manusia yang sukses, yang ironisnya justru membuat anak kita super sibuk, hingga nyaris tak punya waktu untuk bertingkah layaknya anak kecil dan bercengkrama bersama kita yang juga sama sibuknya.

Ada beberapa kedholiman-mungkin sedikit bombastis-yang sudah kita lakukan tanpa kita sadar. Yang pertama dan terpenting; seberapa jauh kita persiapkan anak-anak kita untuk “masa depan” mereka, sesuatu yang sudah pasti? Seberapa jauh kita persiapkan anak-anak kita untuk menjadi hamba Tuhan yang sukses? Berapa banyak uang yang kita sisihkan untuk memberikan mereka pengetahuan agama, sementara kursus yang mereka ikuti nyaris melulu bertemakan keduniaan, yang kemudian diperparah dengan tidak adanya input tentang agama dari kita karena kita sendiri terlalu sibuk mengejar dunia, denganalasan anak kita butuh banyak biaya? Lihat betapa kesalahan cara pandang membuat kita terbelit dalam sebuah lingkaran setan. Kita memaksa anak ikut banyak kursus dengan biaya jutaan untuk mengejar prestasi (prestasinya sendiri, serta “prestasi” kita) untuk kemudian kita justru harus pontang-panting cari uang untuk membayar kursus-kursus tersebut.

Kesalahan cara pandang tersebut secara otomatis membawa kita pada kedholiman yang kedua dan ketiga yaitu gagalnya kita memberikan waktu “nyaman dan hidup” pada diri kita-yang begitu tenggelam dalam kesibukan- serta pada anak-anak kita-yang juga terpaksa menjadi sangat sibuk karena kursus dan segala macam les yang harus mereka ikuti.

Wahai ibu dan bapak, sadarkah kita betapa kita menggunakan ukuran yang sangat “dunia” untuk kehidupan kita? Standar kita untuk diri sendiri adalah cukup secara materi, bisa menyekolahkan anak-anak di sekolah yang terpandang, bisa memberikan fasilitas yang cukup, termasuk membiayai les-les dan mempersiapkan masa depan dengan membeli berbagai produk asuransi. Kita tanamkan pada anak-anak kita bahwa mereka harus mampu menjadi seperti A, B atau C, mereka harus giat belajar supaya dapat prestasi di sekolah, bisa masuk sekolah favorit dan masa depan mereka akan lebih terjamin karena gelar yang mereka dapat akan menjamin kemampuan mereka untuk mendapatkan pekerjaan layak dengan gaji tinggi yang cukup untuk membeli berbagai kenikmatan dunia.

Ya, mungkin cukup untuk membeli kenikmatan dunia? Lantas, bagaimana dengan kenikmatan akhirat? Pernahkah terbayangkan apa yang akan kita alami di alam “sana” nanti? Betapa kita tidak akan mampu berbuat apapun selain mengharapkan argo amal sholeh kita terus berjalan. Bagaimana bisa argo ini berjalan sementara kita tidak mengkader anak kita menjadi anak-anak yang sholeh, yang senantiasa berbuat baik dan mendoakan kedua orangtuanya?

Pernahkah kita mengganti pola pikir kita sendiri dengan mengatakan bahwa sebaik-baik cita-cita adalah menjadi “hamba dari sang Khalik”? Bahwa kesuksesan itu bukan diukur dari seberapa panjang gelar, akan tetapi semata-mata ditentukan oleh usaha kita untuk mendekat kepada-Nya? Kapankah kita akan mengganti kata-kata “jadilah arsitek, jadilah artis, jadilah insinyur” dan berbagai macam kebanggaan dunia lainnya dengan “Nak, jadilah hamba-Nya yang sukses. Seorang hamba yang mata, pikiran dan hati hanya digerakkan oleh-Nya, dan bergerak semata menuju pada-Nya?

Sudah saatnya, mari kita ajak diri kita dan anak-anak kita untuk bercita-cita menjadi hamba-Nya yang sukses. Mari!

Tangerang,

27 Agustus 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline