Hari menjelang malam, Lhia masih duduk di bangku depan kedai kopi pojokan kota itu, sambil ditemani secangkir kopi Aceh Gayo dan mendengarkan lagu dari salah satu band indie "Dialog Senja" perlahan dia mengikuti liriknya:
"Menghapus tinta yang pernah kau lukis
Di kanvas hatiku
Merobek semua bayangan yang tampak
Di relung sukma ku"
Sementara matanya memandang lekat tembok gedung-gedung tinggi yang mulai luntur warnanya, sesekali Lhia melemparkan pandang ke langit melihat matahari yang perlahan meninggalkan kota Jogja sambil menghitung sisa butir waktu siang yang sebentar lagi akan hilang.
Lhia selalu menghabiskan waktunya ditempat itu kala senja tiba. Yah, hanya untuk sekedar melepas kepenatan dari rutinitas melelahkan, kadang juga menjadi tempat Lhia menulis dan berfikir keras persoalan yang belum terselesaikan.
Terlihat Lhia masih bungkam, rupanya rasa gelisah dan bingung masih mengeliat dalam pikirannya.
Lhia heran, kenapa saat ini semua pada haus akan prestasi pendidikan, terlebih pada orang tua yang sibuk menguliahkan anak-anaknya ditempat mahal hanya untuk mencari status sosialnya.
Padahal sepengetahuannya, keberhasilan pendidikan ialah dapat menuntut ilmu untuk meraih cahaya kebenaran sehingga memiliki moral etika baik yang melekat dalam diri, bukan siapa yang lebih memiliki prestasi banyak dan kuliah ditempat yang mahal.
"Jika seperti itu, kita telah masuk dalam jebakan dunia dan memelihara sifat kebinatangan kita?"
"Dan bukankah itu akan membawa kita pada kerakusan yang nyata?"
Lhia penuh tanya.
Lhia teringat akan nasihat Rumi "Bahwa siapa yang memelihara jiwa kebinatangan akan menjadi bebek yang melambangkan kerakusan, paruhnya selalu ditanah, mengeruk apa saja yang terbenam, entah basa atau kering, tenggoraannya tidak pernah santai satu saatpun".