Cubitan tersakit di dunia
Tulisan ini saya persembahkan untuk kedua saudara saya sebagai saksi sejarah kepergian mama.
Waktu itu baru 6 tahun seorang insan merasa dan menyadari eksistensinya di dunia. Merasa pilu sekaligus kagum pada ibunda. Hidupnya penuh dengan problematik tapi sampai di finis dengan sukacita. Tepat malam minggu sebelum berpulangnya ibunda ada satu hadiah yang amat indah bagi keluarga kecilku. Pasti kakak masih ingat, waktu itu beliau membuatkan kita kue kukus untuk terakhir kalinya. "Pa tolong belikan saya tepung dan telur di tempat Aina, saya mau buat kue untuk anak-anakmu". Bapa menjawab seraya berkata "Bapa tidak punya uang ma". "Ya ngutang saja dulu bulan depan baru bayar". Karena mama mendesak akhirnya bapa pun membelikan bahan-bahan untuk membuat kue kukus, saya lupa nama kuenya.
Kasih sayang mama sungguh luar biasa. Rupanya beliau sudah menyadari akan kepergiannya di dunia ini untuk selama-lamanya. Sehingga untuk yang terakhir kalinya beliau mau membahagiakan anak-anaknya dan suaminya yang tercinta. Hal ini semakin tampak ketika hari minggu paginya. Waktu itu kita tidak ke gereja, lalu mama mengajak kita bertiga untuk doa bersama. Padahal doa pagi bersama di hari minggu seperti itu bukanlah kebiasaan kita. Tetapi sayangnya saya dan ka Yudis tidak serius berdoa dan saling colek sana-colek sini. Akhirnya mama murka dan mencubit pahaku sampai merah. Sungguh cubitan yang paling sakit sedunia tapi yang paling saya rindukan sepanjang masa. Saya sekarang memahami bahwa cubitan itu bukanlah cubitan biasa, karena terus membayangi isi kepalaku. Seolah-olah mama mau mengingatkan saya untuk tidak lupa berdoa. Dan karena kesadaran itu pula yang membuat saya pun memutuskan untuk menapaki jalan panggilan ini. Mungkin beliau mau agar saya selalu menjadi pendoa bagi mereka yang sudah dipanggil Tuhan dan bagi semua keluarga besar kita.
Di hari minggu itu bapa dan kakak Rinto dan Yudis mau ke kebun untuk panen sayur sawi. Saya dan mama disuruh tinggal di rumah, tetapi mama bersih kukuh untuk ikut. Walaupun dalam keadaan yang masih kurang baik saya dan mama diijinkan untuk ikut. Sungguh itu adalah momen kebersamaan dalam keluarga yang paling saya rindukan saat ini. setelah seharian kita di kebun, sore itu ka Rinto mengambil buah nangka yang sudah matang dan cukup besar. Pada saat-saat itulah, saat terakhir kita melihat mama yang tercinta. Saya masing ingat betul posisinya ketika mama tergeletak dipangkuan bapa. Mama meninggal saat menyuapi bapa buah nangka. Memang saya melihat beta beruntungnya mereka, hidup dan mati selalu bersama, bahkan saling membahagiakan sampai akhir hayatnya. waktu itu tangan bapa kotor, maka mamalah yang menyuapi bapa buah nangka, tetapi ketika yang ketiga kalinya mama tidak melepas biji buah nangka itu dan langsung menyuapi bapa. Ketika mau dikunyah bapa menyadari bahwa bijinya belom di buang. Hal itu yang membuat mama dan bapa tertawa dan juga merupakan tertawa mama yang terakhir kalinya di dunia ini. Setelah tertawa mama langsung terjatuh di pangkuan bapa. Beliau meninggalkan kita dengan penuh kebahagiaan dan suka cita.
Akhirnya kita bawa mama ke pondok, tubuhnya waktu itu masih panas bahkan sampai tengah malam. Kita semua panik dan bingung harus melakukan apa. Bapa langsung suruh saya dan ka Yudis ke kampung untuk ambil bantal dan selimut. Saya ingat kita lari dari kebun sampai di kampung tiada henti, begitupun ketika kita balik dari kampung. Lalu sesampainya di pondok Kita semua Cuma bisa menyaksikan kematian mama dengan tenang sambil berbaring jaga di samping mama. Hari itu hari yang amat indah sekaligus hari yang tak terlupakan sepanjang hidupku.
Ada satu hal yang ka Yudis dan ka Rinto mungkin belum tahu. Hal yang juga membuat saya terkesan dan sangat mencintai mama. Ada seorang ibu di tongkol yang juga sangat terharu dengan kematian mama. Beberapa minggu lalu saya video call dengan beliau dan banyak sekali kami cerita, hal yang selama ini mau saya ceritakan tetapi selalu tidak sempat. Dan rupanya beliau juga mau cerita dengan saya hanya tidak jadi karena beliau takut saya sedih. Orang yang saya maksud adalah mamanya Karlos kecil. Waktu itu mama selalu ajak saya berdoa Koronka Kerahiman Ilahi setiap jam 3 siang di rumah mama Karlos. Hanya kadang saya ikut doa, kadang juga saya Cuma main-main saja di sana. Pengalaman berdoa itu yang menggetarkan hati saya akan rasa kagum kepada sosok mama yang tercinta. Setelah mama meninggal saya selalu bertanya-tanya dalam hati mama berdoa devosi apa ya dengan mama Karlos. Saat saya mau tanya langsung tetapi selalu saja ada halangan. Sampai akhirnya saya mencari bentuk-bentuk doa devosi dalam gereja katolik dan dengan sendirinya saya paham bahwa waktu itu beliau berdoa kerahiman Ilahi.
Doa koronka adalah bentuk devosi untuk mendoakan jiwa-jiwa yang sudah meninggal agar memperoleh kerahiman dari Allah. Tetapi siapa yang setia mendoakannya juga akan mendapat kerahiman yang besar pada jam kematiannya ( buku kerahiman Ilahi hal 31). Waktu saya memutuskan untuk menjawab panggilan ini pun saya selalu mohon dari Kerahiman Allah melalui bentuk doa ini. Inilah alasannya mengapa saya tidur di pastoran agar dapat bangun jam 3 pagi untuk berdoa novena ini. padahal sebenarnya doa ini di doakan pada jam 3 siang, hanya karena sepulang sekolah saya sampai di rumah selalu jam setengah empat atau jam empat. Maka saya niatkan untuk mendoakannya pada jam 3 pagi. Jawaban dari doa itu adalah ketika adikmu menjalani panggilan hidup ini dan sangat merasa yakin dan mantap akan pilihanku ini. Dalam tulisan ini semoga kembali menyegarkan kita akan kenangan indah bersama mama dan semakin menguatkan hidup panggilan kita masing-masing. Mama selalu mengajak kita untuk berdoa bersama dalam keluarga, janganlah kita tinggalkan apa yang sudah ia berikan kepada kita. Jangan lupa untuk ceritakan kepada anak-anak kalian dan beri mereka contoh hidup doa yang baik. salam dari si bungsung yang paling di sayang mama. Alfred
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H