Mengamati proses Pilkada serentak 2018, saya teringat sebuah buku kecil karya F. Budi Hardiman memuat refleksi kritis atas apa yang telah dan tengah terjadi dalam demokrasi Indonesia. Buku kecil ini lahir atas refleksi Demokrasi Indonesia yang berskandal.
Kata skandal berasal dari kata Latin 'scandalum', yang artinya 'batu sandungan' atau 'godaan' untuk berdosa. Lengkapnya, skandal diartikan sebagai perbuatan memalukan, suatu pelanggaran, yang mengejutkan karena orang tidak mengira bahwa hal itu dilakukan oleh pelakunya.
Lalu, mengapa Demokrasi Indonesia dalam hal ini disebut berskandal? Setidaknya, ada 3 alasan yang kuat untuk menjelaskan hal ini. Ketiga hal ini menjadi gambaran umum proses demokrasi di Indonesia.
Pertama, demokrasi yang seharusnya menghasilkan solidaritas justru membiarkan ekspansi pasar yang merusak solidaritas. Kedua, demokrasi yang seharusnya melindungi pluralitas justru di Indonesia membiarkan kekuatan-kekuatan religio-politis yang mengancam pluralitas. Ketiga, demokrasi yang seharusnya menghasilkan kesetaraan kondisi-kondisi justru di Indonesia membuahkan kondisi ketidak setaraan.
Skandal-skandal diatas ini terjadi karena demokrasi elektoral yang berjalan di Indonesia sulit untuk mewujudkan demokrasi yang seutuhnya. Secara konsep, demokrasi diartikan sebagai 'pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tetapi dalam praktek demokrasi elektoral, yang terjadi adalah segelintir orang super-kaya yang sejak Aristoteles disebut 'oligarki' menjadi pengendali atas 'voters' (pemberi suara).
Lantas, mampukah kita melawan kekuatan oligarki dalam pengendalian 'voter' dalam proses demokrasi, khususnya Pilkada 2018 ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H