Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Wisata Halal di Indonesia: Menavigasi Janji Ekonomi dan Harmoni Budaya

Diperbarui: 1 Februari 2025   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(olahan GemAIBot, dokpri)

Wisata Halal di Indonesia: Menavigasi Janji Ekonomi dan Harmoni Budaya

Indonesia, negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, telah lama menjalani dinamika antara agama dan pemerintahan. Berlandaskan Pancasila, filosofi yang menekankan persatuan dalam keragaman, nusantara ini berhasil menyeimbangkan identitas keagamaan dengan komitmen terhadap pluralisme.

Kini, keseimbangan tersebut diuji di sektor pariwisata, di mana dorongan pemerintah untuk mengembangkan wisata halal -pasar khusus bagi pelancong Muslim- memantik perdebatan sengit. Pendukungnya menekankan potensi ekonominya, sementara pengkritik mengkhawatirkan homogenisasi budaya di negara yang justru dipuja karena keberagamannya.

Perdebatan ini khususnya panas di Bali, pulau mayoritas Hindu yang ekonominya bertumpu pada daya tarik kosmopolit. Saat Indonesia berupaya meraih pasar wisata halal global senilai US$225 miliar, tantangannya adalah menyelaraskan ambisi ekonomi dengan semangat inklusivitas Pancasila.

(sumber: driau.com)

Daya Tarik Ekonomi Wisata Halal

Potensi Indonesia dalam wisata halal tak terbantahkan. Sebagai pemuncak Global Muslim Travel Index 2023, negeri ini siap menarik sebagian dari 230 juta pelancong Muslim dunia. Daerah seperti Aceh dan Sumatera Barat, yang tradisi Islamnya melekat dalam budaya lokal, paling diuntungkan.

Sertifikasi halal -yang menjamin restoran bebas babi, fasilitas sholat, dan area terpisah untuk gender- dapat meningkatkan standar infrastruktur dan layanan, menarik tidak hanya Muslim tetapi juga non-Muslim yang mengutamakan kebersihan atau eksplorasi budaya. Untuk wilayah konservatif, label ini memperkuat nilai lokal sekaligus menjadi keunikan di pasar pariwisata yang kompetitif.

Secara ekonomi, insentifnya jelas. Wisata halal dapat menghidupkan sektor mulai dari perhotelan hingga kuliner, menciptakan lapangan kerja dan menarik investasi. Wisata religi, seperti tur ziarah ke masjid bersejarah atau universitas Islam, memperkaya ragam produk pariwisata Indonesia. Kampanye Kementerian Pariwisata seperti Muslim-Friendly Tourism bertujuan memosisikan Indonesia sebagai pemimpin global di ceruk ini, memanfaatkan permintaan akan pengalaman wisata yang ramah keyakinan.

(olahan GemAIBot, dokpri)

Gesekan Budaya dan Risiko Eksklusivitas

Namun, dorongan sertifikasi halal menuai penolakan, terutama di wilayah yang budaya dominannya bukan Islam. Bali, dengan 80% ekonomi bergantung pada pariwisata, menjadi contoh nyata ketegangan ini. Kesuksesan pulau ini terletak pada daya tarik universalnya: perpaduan tradisi Hindu, hiburan malam, dan keindahan alam yang memikat jutaan wisatawan non-Muslim tiap tahun. Anggota DPR dan pemimpin lokal menentang pemberlakuan standar halal di sini, dengan argumen bahwa hal itu bisa menjauhkan pasar utama Bali dan mengikis identitasnya sebagai destinasi sekuler.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline