Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Mengalungkan Sarung: Makna Relasi dan Kehangatan dalam Tradisi Nusantara

Diperbarui: 22 Januari 2025   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Natoni, penyambutan tamu di Kefamenanu, penulis menerima sarung selamat datang dari teman Edi Tjeunfin, foto: Pater Vincen)

Mengalungkan (Menyelempangkan) Sarung: Makna Relasi dan Kehangatan dalam Tradisi Nusantara

Di tanah Nusa Tenggara Timur, ada satu tradisi yang tidak hanya menyentuh secara fisik tetapi juga mendalam secara emosional dan spiritual: pengalungan sarung kepada tamu yang baru tiba. Tradisi ini bukan sekadar gestur penyambutan, melainkan simbol relasi yang erat, penghormatan, dan penerimaan. Dalam momen singkat, pengalungan sarung menghubungkan yang hadir dengan kehangatan budaya lokal yang penuh makna.

Di Timor seperti di Kefamenanu, tradisi ini dikenal sebagai Natoni (atau di Sumba Barat Daya disebut Pabhalena dalam Bahasa Wejewa), sebuah upacara adat yang sering dilakukan dalam berbagai acara penting seperti penyambutan tamu [yang penulis alami sendiri ketika disambut oleh teman saya Frederikus Tjeunfin tahun 2018 lalu, bahkan kain yang diberikan itu sudah saya jadikan jas. Terima kasih teman untuk relasi persahabatan kita hingga hari ini. Jadi kangen makan bose, dengan lauk B2 dan moke yang bikin oleng haha], upacara adat perkawinan, dan kegiatan adat lainnya. Natoni menjadi manifestasi kebesaran hati masyarakat Timor dalam menerima kehadiran orang lain dengan penghormatan dan kehangatan.

(olahan GemAIBot, dokpri)

Sebuah Simbol yang Berbicara

Tradisi mengalungkan (menyelempangkan) sarung atau selendang kepada tamu yang baru datang di Nusa Tenggara Timur (NTT) bukan sekadar seremonial. Di baliknya, terdapat makna yang mendalam, menghubungkan psikologi manusia, dimensi sosial, dan relasi persahabatan. 

Tradisi ini menjadi cerminan cara masyarakat memandang kehormatan, penerimaan, dan kehangatan. Makna sebenarnya dari tradisi ini dalam konteks modern menampilkan sebuah perjalanan emosional dan spiritual yang kaya. Pengalaman ini tidak hanya menyentuh hati tamu dan tuan rumah, tetapi juga menjadi pengingat pentingnya nilai-nilai tradisional di tengah arus modernisasi. Dengan mengalungkan sarung atau selendang, seorang tamu sudah diterima dan dianggap sebagai bagian dalam keluarga.

Perspektif Psikologi: Sarung Sebagai Simbol Kehangatan dan Perlindungan

Dalam psikologi, simbol memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan emosional yang mendalam. Ketika sarung dikalungkan kepada seseorang, pesan non-verbal yang tersampaikan adalah penerimaan, perlindungan, dan persahabatan. Kehangatan emosional ini sangat penting, terutama di dunia modern di mana hubungan antarindividu sering kali dangkal dan terdistorsi oleh kesibukan.

Pengalungan sarung menciptakan momen emosional yang memperkuat hubungan antarmanusia. Sarung yang melingkari tubuh tamu seperti sebuah pelukan yang mendalam, membawa pesan bahwa mereka diterima sebagai bagian dari komunitas. Tradisi ini mengingatkan kita akan pentingnya penghargaan dan kehadiran emosional dalam setiap interaksi.

Selain itu, pengalaman diterima melalui simbol seperti sarung dapat memicu rasa bahagia yang memengaruhi kesejahteraan psikologis. Menurut teori psikologi positif, momen penerimaan seperti ini mengaktifkan emosi positif seperti rasa syukur, rasa dihargai, dan rasa memiliki. Hal ini memperkuat ikatan emosional yang pada gilirannya mendorong hubungan sosial yang lebih sehat dan penuh makna.

(olahan GemAIBot, dokpri)

Perspektif Sosiologi: Sarung Sebagai Ikatan Sosial dan Identitas Budaya

Tradisi mengalungkan sarung mencerminkan nilai-nilai sosial yang dipegang teguh oleh masyarakat NTT. Nilai ini tidak hanya terletak pada sarung sebagai kain, tetapi pada simbolisme yang terkandung di dalamnya sebagai representasi identitas budaya dan solidaritas sosial.

Dalam konteks masyarakat modern, modernisasi sering kali mengikis nilai-nilai tradisional. Namun, sarung yang dikalungkan kepada tamu menjadi pengingat akan betapa pentingnya mempertahankan akar budaya. Pengalaman ini menunjukkan bagaimana penghormatan terhadap tamu dapat memperkuat identitas kolektif dan rasa kebersamaan. Melalui pendidikan budaya di sekolah dan komunitas, tradisi ini dapat tetap hidup dan relevan di tengah generasi muda yang terus berkembang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline