MBG: Harapan Baru atau Langkah yang Setengah Hati?
Ketika program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan, banyak yang berharap ini menjadi solusi atas masalah gizi yang membayangi generasi muda Indonesia. Namun, apakah program ini benar-benar membawa perubahan signifikan, atau hanya sekadar janji yang hilang di tengah jalan?
Tadi siang di sekolah saya berseloroh kepada seorang rekan guru yang kebetulan wakasek bidang kurikulum."Bu, kapan sekolah kita dapat giliran Makan Bergizi Gratis?"
"Wah gak tahu Pak, kayaknya hanya khusus sekolah negeri, sekolah swasta macam kita kayaknya tidak masuk dalam hitungan, apalagi dapat kesempatan."
Mungkin candaan semacam ini ada di lain tempat, terutama dengan anggaran yang segitu besar, mestinya ada hal lain yang lebih urgen diperhatikan. Berikut ini saya mencoba menggali beberapa hal yang menurut saya pantas untuk mengulik tema: "Kick Off Program Makan Bergizi Gratis, Bagaimana Pelaksanaannya Di Daerahmu?"
Saya mencoba mengawali dengan melihat akar krisis dan diakhiri dengan pertanyaan tentang pertanggungjawaban anggaran yang demikian besar.
Latar Belakang: Krisis Gizi di Indonesia
Masalah gizi buruk di Indonesia bukanlah isu baru. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka stunting pada anak mencapai 21,6% di tahun 2023. Gizi buruk tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik tetapi juga memengaruhi perkembangan kognitif anak. Dalam konteks ini, MBG hadir sebagai langkah pemerintah untuk memberikan makanan sehat kepada siswa.
Namun, tantangannya tidak sedikit. Apakah pemberian makanan bergizi sekali atau dua kali seminggu cukup untuk menutupi kebutuhan nutrisi anak-anak? Ataukah ini hanya menjadi program simbolis tanpa dampak nyata?
Jadi ingat legenda kisah cinta antara Bandung Bondowoso dan Loro Jonggrang. Loro Jonggrang bersedia menerima cinta Bandung Bondowoso asalkan ia mau membangun seribu candi dalam semalam. Demi cinta yang menggebu, Bandung Bondowoso menyanggupi, namun kemudian cinta mereka kandas karena hari keburu siang dan candi pun mangkrak "hingga hari ini".
Jangan sampai proyek meningkatkan gizi instan ini berakhir seperti kisah candi di utara/belakang candi Prambanan, Yogyakarta itu.