Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Ka Maki Reba

Diperbarui: 15 Desember 2024   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(para bapak dengan pakaian adat dan sedang menikmati nasi dan daging di wati, foto: Om Nico Gere)

KA MAKI REBA

Catatan Kenangan Masa Kecil

Pengalaman masa kecil yang indah di Malapedho adalah ketika pesta reba. Pesta syukur atas panen dan atas segala berkat lainnya yang diperoleh selama setahun.

Tulisan ini tidak untuk mengulas mengenai sejarah pesta Reba dan Meghe baik dalam arti sosiologis, antropologis maupun religius.

Yang hendak saya bagikan di sini lebih sebagai pengalaman ikut diundang makan oleh beberapa keluarga ketika menghabiskan masa kanak-kanak, masa sekolah dasar dan masa sekolah menengah pertama di Malapedho, Inerie, Aimere (sekarang sudah kecamatan Inerie, pemekaran dari kecamatan Aimere), Ngada, Flores.

Saya ikut menyaksikan secara dekat pesta reba pada bulan Desember 1982 di rumah besar bapak Niko Loy (alm). Dan sejak saat itu setiap tahun saya dan adik-adik selalu mendapat undangan untuk ka maki reba (makan nasi reba) di kampung Jere dan Maghilewa.

Tiada yang lebih membahagiakan bagi kami anak-anak kecil saat itu selain bergembira menonton orang melakukan tandak sambil menyanyikan lagu "O Uwi" sambil menikmati undangan makan dari rumah ke rumah.

(nasi dan daging dalam "piring wati" dari anyaman daun lontar, foto: Kak Yohana)

Semoga tradisi ini terus diwarisi dari generasi ke generasi.

Ini tradisi yang indah, bukan soal makan minumnya tetapi terutama tradisi berkumpul dan bersatunya segenap keluarga besar setiap Sao Meze (Rumah Adat) yang ada di kedua kampung yang di tengahnya berdiri kokoh Kapela Maghilewa (sebagai cikal bakal Paroki Ruto) sebagai fondasi iman bagi seluruh warga kedua kampung serta kampung Watu dan Leke sebelah barat kampung Maghilewa.

Kampung Jere dan Maghilewa ini sangat eksotik dan menurut saya juga sangat mistis. Di atas dasar kedua kampung ini telah dibaringkan ribuan leluhur yang setia menjaga keutuhan kampung. Kadang sebagai anak kecil saat itu saya (mungkin ada teman lain) merasa takut untuk berjalan sendirian di pinggir kampung, sekalipun di siang hari.

Ya takut akan kesakralan kampung, karena di atas Ngadu dan Bhaga (rumah-rumah kecil di tengah kampung sebagai tempat pemujaan) "bertahta" leluhur yang selalu memperhatikan tingkah laku para anak cucunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline