Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Legowo di Tengah Kontroversi

Diperbarui: 7 Desember 2024   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Gus Miftah mundur dari jabatan stafsus Presiden, foto: detik)

Legowo di Tengah Kontroversi

 

Di tengah gempuran pro dan kontra yang mengitarinya, keputusan Gus Miftah untuk mengundurkan diri dari jabatan Staf Khusus Presiden Bidang Kerukunan Umat Beragama dan Pembangunan Fasilitas Keagamaan mencuat sebagai sorotan. Keberanian untuk mundur di saat situasi sulit telah mengingatkan kita akan nilai integritas dan tanggung jawab dalam kepemimpinan, terutama di era di mana banyak pejabat enggan mempertanggungjawabkan kesalahan mereka.

Dalam dunia politik dan kepemimpinan, pengunduran diri sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan. Namun, situasi ini berbalik ketika Gus Miftah --seorang yang disebut tokoh religius dan sosok yang dikenal di kalangan masyarakat- mengambil langkah berani dengan legowo mundur dari jabatannya. 

Tindakan ini bukan hanya mencerminkan keberanian, tetapi juga menegaskan bahwa ada kalanya, demi kepentingan yang lebih besar, seseorang disebut masuk dalam kalangan pemimpin harus bersikap jujur dan bertanggung jawab. Apa yang ditabur juga akan dituai, menabur bara menuai panas, menabur sumpah menuai serapah.

Gus Miftah bukanlah tokoh pertama yang mengalami kontroversi; banyak pejabat publik yang terjun ke dalam badai kritik namun enggan mengambil tindakan tegas seperti mengundurkan diri. Mereka seringkali memilih untuk berpegang pada jabatan mereka, meskipun menyadari ada dampak negatif yang ditimbulkan terhadap institusi dan masyarakat. 

Dalam hal ini, Gus Miftah memberikan teladan yang patut dicontoh: keberanian untuk mengakui kesalahan dan mundur ketika dirasa kehadirannya menjadi "batu sandungan" bagi orang lain.

Proses pemerintahan tidak selamanya berjalan mulus. Ketika sebuah kebijakan atau tindakan mendapatkan respons negatif dari masyarakat, seorang pemimpin yang berintegritas seharusnya tidak hanya berfokus pada mempertahankan posisi sambil menunggu dipecat oleh yang memberinya kerjaan, tetapi juga pada dampak yang ditimbulkan. 

Keputusan untuk mundur, seperti yang dilakukan Gus Miftah, mencerminkan kesadaran akan tanggung jawab sosial serta komitmen untuk menjaga stabilitas dan harmonisasi di tengah masyarakat.

(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Sikap legowo Gus Miftah dapat menjadi inspirasi bagi pejabat publik lainnya. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman dan dinamika, pemimpin yang mampu mengedepankan etika dan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi sudah seharusnya menjadi norma, bukan pengecualian.

Di era di mana banyak pejabat terjebak dalam pola pikir "benalu" -yang merasa nyaman dengan jabatan meski tahu tidak mampu atau berkontribusi positif- keputusan Gus Miftah adalah pengingat akan makna sejati dari kepemimpinan. Hal ini menunjukkan bahwa keberanian untuk mundur ketika diperlukan merupakan salah satu bentuk kekuatan, dan bukan kelemahan.

Dengan langkahnya ini, Gus Miftah tidak hanya melepaskan posisinya, tetapi juga membangun fondasi untuk pemimpin masa depan yang lebih berani, jujur, dan bertanggung jawab atas perilaku negatif di tengah masyarakat. Dalam dunia yang sering kali penuh kontroversi dan kepentingan pribadi, sikap legowo seperti ini patut dihargai dan ditiru demi kemajuan masyarakat dan bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline