Kartu Kuning Kompasiana
Judulnya keren kan K3 alias Kartu Kuning Kompasiana. Bukanlah ini lebih sederhana dari K24, sebuah apotek yang selalu buka dan lupa tutup itu? Mari kita nikmati humor senja ini. WAG (WhatsApp Group) penulis bernama KOKOBER -Komunitas Kompasiana Berbagi- mendadak seru. Aneka tanya bernada dasar kecemasan tengah melanda. Bukan soal akhir bulan yang dompetnya nyaris jadi lubang hitam, tapi soal notifikasi "teguran" yang datang bak undangan arisan keluarga besar.
Dear Kompasianer,
Artikel yang Anda terbitkan berjudul "......" terindikasi melanggar syarat dan ketentuan Kompasiana, dan tidak dapat dipublikasikan.
Jika menurut Anda keputusan kami kurang tepat atau artikel tersebut tidak melanggar, silakan ajukan peninjauan kembali melalui link di bawah ini:
www.kompasiana.com/review-case?ID=674fdbaec925c407474e3a22
Salam.
Pesan ini dikirim otomatis oleh sistem
"Astaga, notif lagi notif lagi! Artikelku dibilang melanggar lagi! Padahal cuma bahas perbedaan warna matcha dan green tea. Apa salahku?" keluh Pak Budi, seorang penulis yang terkenal dengan artikel kulinernya.
"Tenang, Pak. Jangan emosi. Mungkin aplikasi lagi error. Kita sabar saja. Kalau kartu kuning ini bisa dikoleksi, mungkin kita semua udah kayak wasit Piala Dunia, tinggal tunggu kartu merah aja," jawab Bu Siti sambil menghibur. Tapi, tawa kecilnya tak bisa menyembunyikan keresahannya sendiri. Ia baru saja menerima notif serupa saat menulis artikel motivasi tentang menanam cabai di masa sulit.
"Begini caranya kita dilatih sabar," tambah Bu Siti dengan nada setengah menghibur diri. "Daripada kita kena kartu merah, mending kita usul ke admin: blokir aja ATM koruptor duluan daripada akun kita!"
Semua anggota grup langsung membanjiri ruang chat dengan stiker-stiker tertawa. Pak Andi, yang diam-diam sebenarnya sudah punya notif hampir segudang, berusaha sok santai. "Kartu kuning itu cuma peringatan, teman-teman. Cuma... eh, kalau udah terkumpul 10, emangnya langsung diubah jadi kartu merah, ya?"
"Ya nggak tahu, Pak," jawab Bu Siti, "Tapi kalau sampai akun diblokir, itu dosa kolektif buat kita semua. Bayangkan, siapa lagi yang mau nulis tips cara hemat pakai AC di siang bolong?"
Lalu ramai-ramai anggota WAG membuat list supaya kepala suku WAG menghadap Admin Kompasiana, seperti guru wali hadap Kepala Sekolah minta tanda tangan rapor untuk siswa Fase E.
Kelakar semakin menggila ketika Pak Budi nyeletuk, "Jangan-jangan, kalau kena kartu merah, kita bakal dikirim surat resmi. Isinya: 'Akun Anda diblokir karena terlalu kreatif menabrak peraturan.'"
Tiba-tiba Pak Anto, anggota paling senior di grup, muncul dengan pesan panjang lebar:
"Kompasianer, ingatlah: akun bisa diblokir, tapi semangat menulis tidak bisa dibunuh. Kita ini pejuang kata-kata, para pemberani yang berani mengisi artikel saat kuota hampir habis. Jadi, teruslah menulis dengan hati-hati. Kalau kena kartu kuning, jangan baper. Kalau kena kartu merah, ya... kita buat hashtag baru: #BlokirATMKoruptorDulu!"
Semua langsung sepakat dan mengakhiri diskusi dengan penuh semangat. Toh, di tengah kecemasan mereka, humor dan solidaritas membuat mereka bertahan.
Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti akan ada notifikasi baru:
"Selamat, tulisan Anda telah disetujui tanpa peringatan."