Ketika Harapan Menjadi Mimpi Buruk
"Ada-ada saja," desis seorang nenek, memandang sekeliling posko LAPOR Waniperas yang kini dipenuhi wajah-wajah kosong. "Kami datang membawa harapan, tapi yang kami dapatkan hanyalah ilusi. Janji hanya suara hampa, kini menyisakan hanya kegilaan."
Desa terpencil yang dikelilingi hutan lebat itu tiba-tiba heboh dengan sebuah program pemerintah setempat yang muncul dengan nama LAPOR Waniperas. Program ini dimaksudkan untuk menjembatani keluhan rakyat dengan pengambil kebijakan, serta memberi suara bagi yang terpinggirkan. Namun, takdir berkata lain. Harapan-harapan yang semula bersinar mulai memudar, seiring dengan keputusasaan yang merayap masuk ke dalam jiwa-jiwa yang telah lama terabaikan.
Setiap warga desa, dari orang tua hingga anak-anak, mengirimkan keluhan mereka melalui platform digital yang dicanangkan. Ada yang mengeluhkan jalan rusak, ada yang minta bantuan soal air bersih, dan ada pula yang mengais harapan dalam pelayanan kesehatan yang buruk.
Namun, setiap laporan itu seakan terbenam dalam kegelapan. Mereka hanya menjadi bola pingpong yang tak berujung, melompat-lompat antara departemen yang tak kunjung memberikan solusi.
Hari demi hari, saat harapan itu berbalik menjadi kekecewaan, efeknya mulai terasa. Borowoso dan Wiwimeti, sepasang suami istri, menjadi salah satu contoh. Keduanya tak mampu lagi bertahan, melihat anak mereka duduk dalam kegelapan, tanpa udara bersih dan air layak minum. Dalam kebisingan malam, mereka mulai mendengar bisikan aneh, suara seakan memanggil untuk melupakan harapan tak bertepi itu.
Ditambah lagi, rumor tentang "Cahaya Janji," sosok misterius yang konon akan membimbing rakyat ke cahaya perubahan, hanya menambah rasa stres di antara penduduk. Tidak ada yang tahu siapa dia, tetapi banyak terdengar bahwa dia adalah wakil rakyat yang sangat pandai menebar janji. Ia sering berjanji untuk memperbaiki segala sesuatu, namun semua janji itu hanya meluncur tanpa tindakan nyata.
Lama kelamaan, kondisi ini memicu kegilaan di desa itu. Warga pun berulah. Tawa terbahak-bahak menggantikan tawa bahagia, dan aliran air mata menjadi rutinitas. Di posko LAPOR Waniperas, kekacauan terjadi. Saat mengadukan laporan yang tak kunjung terjawab, mereka mulai berteriak, berbisik satu sama lain, seakan terhipnotis dalam dunia mereka sendiri. Mereka bertukar cerita tentang kekecewaan, lalu tawa canggung di tengah kesedihan menjalar seperti benang merah yang menyatukan mereka dalam kegilaan tak terhindarkan.
Dan ketika sang pemimpin akhirnya datang berkunjung ke posko tersebut, senyum penuhnya mulai memudar. Bertemu mata dengan siapa saja yang pernah mengagungkannya, dia merasakan sesuatu yang mencekam. Sosok-sosok yang tadinya tampak hidup dan bersemangat kini terlihat kosong. Jeritan kegilaan memenuhi ruangan, sementara tumpukan laporan berisi keluhan hanya makin melebur dalam kekacauan.
"Mengapa semua ini terjadi?" teriak salah satu warga, wajahnya sepucat liang kubur. Momen itu menjadi titik balik yang tak terduga. Sang pemimpin yang terkenal banyak berjanji itu, dihadapkan pada kerumunan orang yang nyaris hilang akal sehat. Satu per satu, dia mulai merasakan kepanikan merayapi jiwanya. Tiap tawa, tiap bisikan, serta tatapan kosong menggerogoti pikiran rasionalnya.
Akhirnya, saat mentari mulai terbenam dalam warna kelam malam, dia pun terjebak dalam ketidakpastian yang sama dengan rakyatnya. Janji-janji muluk untuk perubahan seketika membuat jiwanya terserang virus kegilaan. Dia terombang-ambing, tertawa tanpa makna, terjerumus ke dalam dunia yang sama dengan mereka yang pernah dia abaikan.