Cinta yang Tak Lekang oleh Waktu
Di antara ingatan dan rasa rindu, Hari Ayah kali ini terasa lebih menyentuh. Sebuah foto yang diunggah adik bungsuku mengingatkan kami pada sosok yang telah pergi, tetapi cinta dan kebaikannya terus bergetar dalam jiwa kami. Dalam momen ini, saya mengajak kita semua yang pernah, masih dan akan terus memiliki seorang ayah untuk mengenang sejenak tentang setiap harapan dan doa yang terucap untuk seorang ayah.
Cinta yang Terukir dalam Ingatan
Kami kehilangan ayah sudah 17 tahun lalu, ketika yang bungsu masih SD, saya belum menikah empat adik saya yang lain sudah menikah. Sebagian besar hidup saya di asrama sehingga sangat sedikit waktu bersama keluarga. Tetapi sedikit waktu itu tak menghilangkan jejak cinta yang ayah torehkan untuk kami.
Saya masih ingat, sebagai anak sulung, Bapak selalu mengharapkan saya menjadi seorang pastor (imam gereja katolik). Ke mana pun atau bertemu dengan siapapun yang Bapak kenal selalu membanggakan saya dan mengatakan saya akan menjadi imam (padahal saat itu saya masih SD atau SMP dan belum ada keinginan untuk masuk sekolah pendidikan calon imam.
PESAN CINTA di Setiap Langkah
Saat tamat SD Bapak bahkan menghendaki saya masuk SMP Seminari Kisol, yang memang secara jarak lebih dekat dengan rumah, meski berbeda kabupaten). Saking sayangnya pada saya, setiap parfum dan minyak rambut yang Bapak miliki selalu dipakaikan dan disemprotkan ke saya. Begitulah cinta Bapak melalui hal yang sederhana.
Kemarin, 12 November, adalah Hari Ayah. Begitu banyak suara dan ungkapan cinta bagi mereka yang masih mengayomi, tetapi bagi kami, hari itu adalah peringatan untuk mengenang sosok Bapak yang telah berpulang. Kemarin, adik bungsuku memposting foto beliau dengan caption sederhana: "Selamat Hari Ayah." Dalam keterbatasan kata, tersimpan kerinduan yang dalam, merangkum semua kenangan indah bersama beliau.
Kesedihan yang Menguatkan
Pernah sekali waktu, Bapak bertemu seorang imam yang ternyata teman kelas Bapak semasa SMP puluhan tahun silam. Bapak dengan bangganya mengatakan bahwa keponakan si pastor (maksudnya saya) akan menyusul seperti dia. Dan dengan antusias si pastor itu menyambut saya sambil mengatakan bahwa ia senang jika ada yang akan meneruskan jalannya.
Saya memang akhirnya menjalani hidup sebagai seorang seminaris calon imam. Namun menjelang tahap terakhir, dengan hati yang berat saya menyampaikan permohonan maaf bahwa saya tidak bisa meneruskan cita-cita dan harapan Bapak. Hanya satu kalimat yang Bapak ucapkan kala itu, "Kamu tetap anak kebanggaan Bapak." Hal itu terlihat ketika saya sudah menulis beberapa buku, Bapaklah yang paling semangat "menjual" kepada teman-temannya.
Cinta seorang Bapak memang selalu menyertai apapun yang pernah seorang anak lakukan termasuk mengecewakannya.