Imbas Kebangkrutan Sritex bagi Karyawan dan Dampaknya pada UMKM Lokal
Mari Kita Perhatikan,
Ribuan wajah cemas memenuhi lingkungan pabrik yang kini sunyi, tempat yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi mereka. Kebangkrutan Sritex bukan sekadar cerita tentang jatuhnya sebuah perusahaan besar, tapi tentang ribuan keluarga yang kini harus mencari cara baru untuk bertahan. Di balik keputusan pailit, ada harapan yang tergerus dan mimpi yang terhenti, tidak hanya bagi para pekerja, tetapi juga bagi para pemilik warung, pedagang kecil, dan pelaku UMKM yang selama ini menggantungkan hidupnya pada denyut ekonomi yang berpusat di pabrik itu. Sekarang, pertanyaannya adalah: siapa yang akan membantu mereka bangkit?
***
Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) telah lama menjadi pemain utama dalam industri tekstil Indonesia. Berperan sebagai produsen besar, Sritex memberikan lapangan pekerjaan bagi ribuan karyawan dan menjadi tulang punggung ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, terutama bagi para pekerja yang telah puluhan tahun menggantungkan hidup mereka pada perusahaan ini.
[Sebuah cerita tentang kejayaan: Akhir tahun 1994, saya pernah lewat di daerah pabrik Sritex. Kebetulan saat itu pas jam pergantian shift kerja. Pekerja yang masuk dan keluar nampak rapi dengan seragamnya. Kebanyakan pekerjanya adalah perempuan. Senang melihat mereka lincah dan bangga dengan seragam di badan. Dari tangan-tangan terampil merekalah banyak seragam pegawai, tentara dijahit.
Tentu masa itu merupakan masa jaya-jayanya pertekstilan di Indonesia, khususnya Sritex di Sukoharjo, Jateng dan pabrik tekstil lainnya di daerah Ungaran dan sekitarnya. Sebagai anak desa yang masuk kota, pemandangan itu luar biasa. Pengalaman sejenis saya alami ketika sebelumnya di tahun di tahun yang sama (1994) saya pernah ikut berkegiatan dengan para karyawan katolik di daerah Ungaran (yang memang banyak pabrik). Bahkan salah satu teman saya, di kemudian hari menikahi salah satu ketua serikat pekerja di sana. Kegiatan itu pernah menginspirasi saya menulis sebuah puisi berjudul: SPSI: SAPI PERAH SECARA ILEGAL.
Sritex adalah nama besar di industri tekstil Indonesia yang telah beroperasi sejak tahun 1966. Bermula sebagai usaha skala kecil yang berfokus pada produksi kain di Solo, Jawa Tengah, Sritex berkembang pesat menjadi salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan ini menguasai berbagai segmen dalam rantai produksi tekstil, mulai dari pemintalan benang, penenunan kain, hingga produksi pakaian jadi. Keberhasilannya dalam mengintegrasikan seluruh proses produksi membuat Sritex menjadi perusahaan tekstil dengan daya saing yang tinggi.
Kejayaan Sritex semakin terasa ketika perusahaan ini berhasil mendapatkan kontrak besar untuk memasok seragam militer di berbagai negara, termasuk pasukan NATO, Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya. Dengan kualitas kain yang tahan lama dan memenuhi standar internasional, Sritex menjadi pemasok utama untuk keperluan militer, baik dalam negeri maupun luar negeri. Keberhasilan ini tidak hanya membuktikan kualitas produksi Sritex, tetapi juga menjadikannya pemain penting di panggung tekstil dunia.
Selain di bidang militer, Sritex juga merambah sektor fashion dan garmen. Brand-brand besar dari dalam dan luar negeri mempercayakan produksi pakaian mereka pada Sritex, yang dikenal memiliki kualitas tinggi dan kemampuan produksi yang andal. Dengan kapasitas produksi yang mencapai jutaan meter kain dan ribuan pakaian jadi setiap tahun, Sritex mampu memenuhi permintaan pasar domestik dan internasional secara konsisten. Bahkan, ekspor tekstil dan produk garmen Sritex menjadi salah satu penopang devisa negara, sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi ribuan tenaga kerja lokal.
Keberhasilan Sritex juga berkat kemampuan adaptasinya dalam mengikuti permintaan pasar global, serta investasi berkelanjutan pada teknologi dan inovasi. Saat di puncak kejayaannya, Sritex menjadi kebanggaan Indonesia sebagai bukti bahwa industri lokal mampu bersaing secara global. Perusahaan ini tidak hanya berkontribusi pada perekonomian nasional, tetapi juga menjadi inspirasi bagi pelaku industri tekstil lainnya.
Kini, kejayaan tinggal kenangan, menjadi sebuah masa lalu yang kalau diingat oleh mereka yang ada ikatan emosional menjadi sebuah kisah pilu. Apa mau dikata, predator zaman telah memakan kejayaan itu]
Namun intermezo tentang tentang kejayaan di atas berbanding terbalik dengan pernyataan pailit yang diumumkan baru-baru ini menciptakan ketidakpastian bagi karyawan dan keluarga mereka serta mengancam keberlangsungan ekonomi lokal. Kebangkrutan Sritex tidak hanya memengaruhi karyawan yang kehilangan mata pencaharian, tetapi juga memberi imbas pada UMKM, terutama sektor kuliner yang menggantungkan pendapatannya dari kehadiran karyawan pabrik ini.
Mengapa Sritex Pailit?
Kebangkrutan Sritex yang mengejutkan banyak pihak bukanlah hasil dari satu faktor semata, melainkan akumulasi berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah persaingan global yang semakin ketat, perubahan selera pasar, dan keterbatasan dalam inovasi, Sritex mengalami kesulitan dalam menjaga posisinya sebagai raksasa industri tekstil. Pandemi COVID-19 yang menghantam industri secara global memperburuk situasi, sementara masalah internal perusahaan menambah beban hingga akhirnya terpaksa mengajukan pailit. Berikut adalah beberapa faktor utama yang diyakini menjadi penyebab jatuhnya perusahaan yang telah berkiprah selama puluhan tahun ini.
Pertama, Berubahnya Selera dan Loyalitas Konsumen. Di tengah ketatnya persaingan global, banyak pembeli, terutama dari luar negeri, beralih ke produsen dari negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, dan India, yang menawarkan harga lebih bersaing. Tren "fast fashion" dan preferensi terhadap produk-produk berkelanjutan juga berdampak pada pasar tekstil. Sritex perlu lebih cepat beradaptasi dengan permintaan ini untuk menjaga daya saing.
Kedua, Keterbatasan Inovasi dan Adaptasi Teknologi. Sritex menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan diri dengan tren industri tekstil yang semakin digital dan ramah lingkungan. Teknologi produksi yang tidak berkembang dengan pesat serta minimnya inovasi produk membuat Sritex kalah saing dengan produsen yang lebih adaptif terhadap perubahan.
Ketiga, Pandemi COVID-19. Pandemi memperburuk kondisi industri, termasuk tekstil. Gangguan rantai pasokan, penurunan pesanan dari luar negeri, dan berkurangnya aktivitas produksi menyebabkan Sritex semakin kesulitan memenuhi kewajiban finansialnya. Situasi ini turut memperparah beban utang perusahaan.
Keempat, Manajemen dan Strategi yang Kurang Adaptif. Sritex juga mengalami masalah internal, terutama dalam hal manajemen utang dan strategi bisnis jangka panjang. Tanpa adanya restrukturisasi yang efektif, beban utang yang besar akhirnya membawa perusahaan ini pada kebangkrutan.